Pada saat ini, profesi guru tengah menjadi sorotan, menyusul dengan naiknya anggaran pendidikan sebesar 20 % dan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Terlebih dengan adanya program sertifikasi. Tidak jarang masyarakat menuding bahwa guru adalah `pegawai` yang dimanjakan dengan beragam fasilitas namun dengan pekerjaan yang `ringan`. Hal tersebut menjadikan tuntutan masyarakat terhadap guru juga semakin tinggi. Guru tidak hanya dituntut menjadi pendidik yang harus bisa mentransfer ilmu, namun juga harus membentuk akhlak dan moral yang baik pada generasi penerus bangsa. dan kerap masalah-masalah bangsa dilimpahkan begitu saja sebagai kesalahan seorang guru dalam kegagalan mendidik muridnya.
Menurut Sofa (2008) ada berbagai permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia. Pertama masalah kualitas/mutu. Kedua jumlah guru yang masih kurang. Ketiga masalah distribusi guru dan keempat masalah kesejahteraan guru. Dari keempat hal tersebut yang mampu diubah oleh seorang guru secara pribadi, adalah masalah kualitas/mutu guru tersebut.
Guru (dari Sanskerta: yang berarti guru, tetapi arti secara harfiahnya adalah "berat") adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalambahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, definisi kualifikasi adalah keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu, atau menduduki jabatan tertentu. Jadi, kualifikasi mendorong seseorang untuk memiliki suatu “keahlian atau kecakapan khusus”. Menurut Anwar Jasin dalam Mujtahid (2010) untuk mengukur kemampuan kualifikasi guru dapat ditilik dari tiga hal. Pertama, memiliki kemampuan dasar sebagai pendidik. Kedua, memiliki kemampuan umum sebagai pengajar. Ketiga, mempunyai kemampuan khusus sebagai pelatih. Sedangkan menurut Sugito (2007) kualifikasi minimal seorang guru memiliki standar kognisi (intelektual) dan afeksi (perilaku dan sikap) diatas rata-rata. Sesuai sejarah guru dalam ekspetasi kita, guru harus memiliki kualifikasi yang melampaui sekedar penguasaan pelajaran (kognisi), tetapi juga memenuhi prasyarat untuk mampu menggarap rasa, cipta, karsa dan sikap seseorang. Hal tersebut tidaklah berbeda dengan tugas seorang pemimpin. Sehingga dapat diistilahkan bahwa profesi guru adalah profesi yang setara dengan pemimpin, bukan sebagai bawahan atau pegawai biasa. Karenanya kualifikasi dasar yang harus dimiliki oleh guru di Indonesia, tentu adalah kualifikasi seorang pemimpin bukan pegawai apalagi buruh.
Sebagai seorang pemimpin, maka mendidik dan mencerdaskan bangsa adalah visi pribadi bukan beban tugasnya. Mengajar sepenuh hati adalah misi-nya bukan kewajibannya. Tanpa dituntut seorang guru akan melaksanakan pendidikan secara independent dan berpusat pada murid, dan bukan berpusat pada peraturan atasan. Jikalau menurutnya peraturan atasan baik, maka akan dilaksanakan. Namun jika peraturan hanya menjadi halangan dalam mencerdaskan murid, maka akan ditinggalkan. Visi dan misi yang sudah tertanam dalam jiwanya adalah mencerdaskan bangsa, dan bukan sekedar `bekerja` untuk mendidik orang lain.
Ada banyak guru yang memiliki kualifikasi pemimpin dan menghasilkan generasi-generasi pemimpin. Dalam sejarah, kita mengenal Boedi Oetomo. Yang mengajar dan mendidik murid-muridnya dalam sekolah Boedi Oetomo sesuai dengan kebutuhan zamannya, yaitu pendidikan dan organisasi. Walaupun pada akhirnya sekolah tersebut ditutup, namun bekas pendidikannya terus melahirkan generasi muda yang akhirnya mampu memerdekakan bangsa. Kemudian, Soekarno sebelum menjadi seorang pemimpin, beliau pernah mengajari anak-anak mulai berhitung hingga sejarah di tempat pembuangannya, Bengkulu. Begitupun dengan Bung Hatta yang aktif menjadi guru anak-anak di lingkungannya. Beliau mengajari pengetahuan formal sekaligus non-formal, seperti organisasi dan kecintaan kepada bangsa Indonesia. Meskipun pada saat itu beliau sedang ditahan dan dilarang keras untuk mengajar, namun tetap dilakukan secara diam-diam. Karena visi dan misi para pemimpin diatas adalah mencerdaskan sesuai kebutuhan zamannya, dan bukan menuruti keinginan penguasa dan pemerintah saat itu, yaitu kolonial Belanda. Selain beliau, masih banyak pemimpin yang juga memberikan pendidikan layaknya guru mulai dari Ki Hadjar Dewantara, Tan Malaka, Djuanda, Nasution, bahkan Jenderal Soedirman pun pernah menjadi kepala sekolah di SD Muhammadiyah di Cilacap.
Keberhasilan para guru bangsa diatas, bukanlah karena mereka bekerja sebagai guru, namun karena mereka berjiwa sebagai guru. Disamping itu mereka memiliki kualifikasi pemimpin yang cukup hebat, sehingga mampu menghasilkan generasi penerus yang hebat pula. Visi dan misi mendidik ada dalam jiwa mereka, sehingga dimanapun mereka berada, ada atau tidak kesejahteraan, dalam posisi tenang atau genting, jiwa mendidik mereka tidak pernah padam.
Demikianlah seharusnya kualifikasi yang dimiliki oleh seorang guru. Posisi guru saat ini sedang bergeser kepada pemahaman, bahwa guru adalah seorang pengajar yang digaji oleh negara. Kualifikasi yang dimilikipun cukup sebatas yang ditentukan negara. Padahal seharusnya kualifikasi seorang guru tidaklah dibatasi oleh negara, namun lebih dari itu. Sebelum dirumuskan dalam UU Sisdiknas 2003, guru harus sudah mematri jiwanya dengan kualifikasi seorang pemimpin.
Al-Ghazali, menjelaskan bahwa orang alim yang bersedia mengamalkan pengetahuannya adalah orang besar di semua kerajaan langit. Mengutip kitab Ihya `Al-Ghazali yang mengatakan bahwa siapa yang memilih pekerjaan mengajar maka ia sesungguhnya telah memilih pekerjaan besar dan penting. Meski demikian, hubungan guru-murid bukanlah dalam konteks ekonomi seperti seorang pemberi ilmu dan penerima ilmu, atau seperti seorang yang memberi jasa dan penjual jasa, tetapi justru hubungan guru-murid dalam konteks keagamaan atau melakukan perintah Tuhan. Sehingga seorang murid akan menghormati dan menuruti muridnya karena apa yang diajarkan oleh seorang guru adalah ilmu dari Tuhan. Penghormatan itu sama dengan penghormatan terhadap seorang pemimpin, dimana pemimpin adalah seorang yang dianggap memiliki ilmu tentang Tuhan lebih dari rakyatnya. Kesejahteraan yang diberikan pada guru, juga merupakan bentuk penghargaan kepada seorang pemimpin, bukan sekedar gaji atau imbalan. Namun tentu, penghargaan tersebut juga harus diimbangi dengan sikap guru yang layak dihormati bukan karena materinya atau kedudukannya, tetapi karena kepemimpinannya.
Tentu, seandainya guru di Indonesia mampu meningkatkan jiwa pemimpinnya, maka pendidikan di Indonesia akan semakin maju peradabannya.
Bersambung...(10 kesalahan guru di Indonesia yang menyebabkan sulit maju versi Guru On_Spot)
Daftar Pustaka :
http://ath-thullab.blogspot.com/2009/07/kedudukan-guru-dalam-pandangan-islam.html
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/01/memahami-tentang-kualifikasi-guru.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Guru
http://massofa.wordpress.com/2008/10/12/permasalahan-guru-di-indonesia/