Breaking News

Selasa, 27 Maret 2012

Try Out UN Kurang Biaya ? Kami Punya Tricknya

multimedia pendidikan
Penyelenggaraan try out adalah hak siswa, dalam persiapan menghadapi Ujian Nasional. Tetapi di sekolah kami, menyelenggarakan try out sungguh membutuhkan kreatifitas yang tinggi. Bagaimana tidak? untuk ujian saja, siswa kami harus menginduk kepada sekolah RSBI, dan dikenai hampir 500rb setiap siswa. Padahal dana operasional sudah terkuras untuk persiapan dan pembelian alat-alat ujian praktek. Itu saja honor untuk guru sudah dihapuskan sama sekali. Benar-benar Lillahi ta`ala, walaupun tentu ikhlas itu hanya Tuhan yang tahu.
Tapi bersyukur, bahwa kami masih diberi kemudahan. Mungkin, dalam keadaan sempit, orang akan semakin kreatif. Dan timbulah IDE, mengadakan try out dengan metode slide show. Artinya, soal ujian akan kami pampang melalui power point. kami hanya menyediakan lembar jawab. kebetulan kami memiliki LCD 7 buah bantuan dari pemerintah. Laptop pun mencukupi, karena kami hanya memiliki 5 kelas XII.
Dengan ide itu kami memiliki banyak keuntungan :
  1. Kami tidak mengeluarkan biaya untuk penggandaan kertas. Jelas sangat efisien.
  2. Lebih mudah karena pengawas hanya mengawasi komputer dan LCD berjalan normal.
  3. Siswa lebih fokus sulit untuk mencontek. Karena setiap soal berdurasi kurang lebih 1 menit, sehingga siswa lebih fokus pada soal. Siswa yang pintar akan serius memikirkan benar salahnya dan tidak mau diganggu. Karena waktu tiap soal sangat terbatas.
  4. Siswa keluar dari ruangan tepat waktu. Karena tiap soal sudah disesuaikan durasinya.
  5. Dan yang lebih menggembirakan, adalah kreatifitas guru. Karena setiap guru pembuat soal ternyata tertantang untuk membuat power point yang menarik dengan animasi durasi waktu yang berbeda-beda. Sehingga kreatifitas guru terutama dalam penggunaan power point meningkat.
Namun dalam pelaksanaan, kami juga memiliki banyak kesulitan:
  1. Meskipun kami punya LCD 7 yang bisa digunakan hanya 5. karena LCD kami adalah LCD bantuan yang ketika datang sudah dalam keadaan yang kurang prima. Bahkan ketika try out hari terakhir, satu LCD macet total. Sehingga ada satu kelas, yang baru bisa menjalankan try out menunggu kelas lain selesai.
  2. Siswa mengeluh karen tidak bisa mengulang soal. Walaupun bisa meminta pengawas mengulang soal, tetapi waktu yang tersisa tidak banyak. Sehingga terkadang satu soal yang teringat jawabannya belakangan, terlewat begitu saja.
  3. Tentu dampak ketidaknyamanan dan keterbatasan dari penyelenggaraan ini adalah hasil yang kurang akurat. Dampak yang positif hanyalah siswa mengetahui bentuk soal, dan materi bayangan yang akan keluar. Tetapi soal hasil, tidak bisa menunjukkan kemampuan siswa.
Memang, idealnya siswa memperoleh haknya dengan sempurna. Namun karena keterbatasan, maka hanya semaksimal ini yang bisa kami, para guru lakukan. Setidaknya siswa tetap memperoleh haknya untuk latihan soal, dan kami bisa melatih setiap kekurangan siswa.
Kami para guru terkadang kasihan dengan siswa kami, namun kami bersyukur, siswa kami tetap bersabar dengan keadaan yang serba terbatas ini. Karenanya kami para guru hanya bisa berdoa, semoga Tuhan memudahkan mereka dalam menghadapi ujian nasional dan mendapat pekerjaan sesuai cita-cita mereka. AAmiin...
Read more ...

Rabu, 21 Maret 2012

Handphone Menjadi Media Belajar, Mengapa Tidak ?



Apa yang terbayang dalam benak kita, ketika melihat siswa bermain handphone ? ah, masih kecil sudah pegang handphone. wuih, jangan-jangan lagi nonton 3gp nih. huh, lebay. dll. Tidak heran, jika ada salah satu bupati yang melarang siswa menggunakan handphone di sekolah..Efektifkah larangan itu ? tidak. Nyatanya penggunaaan handphone pada siswa tidak pernah surut.
Menurut survey pada murid disekolah kami, 99 % murid memiliki handphone pribadi. dan 1 % tetap memiliki handphone keluarga. Sementara, 70 % diantaranya dibawa ke sekolah dan 20 % tetap diaktifkan selama sekolah.

Lalu, bagaimana dengan penyalahgunaan handphone oleh siswa ? Sebenarnya, semua alat bantu manusia, rentan pada penyalahggunaan. Pisau, merupakan alat yang berguna untuk memasak, tapi juga dapat digunakan untuk membunuh. Garpu, juga bisa untuk makan, tapi bisa untuk menusuk. Lalu, apakah kita akan berhenti menggunakan pisau dan garpu? atau melarang anak kita bermain pisau dan garpu hanya karena takut terluka? Tentu kita memilih untuk mengajarkan pada anak kita, bagaimana menggunakan pisau dan garpu yang benar, bukan? Karena setiap alat tidaklah berbahaya. Kita tidak perlu melarang anak/siswa pada suatu alat, tetapi yang lebih penting kita harus mengajarkan kepada mereka, kemampuan untuk memanfaatkan sesuatu untuk hal yang postif dan benar.

Maka seperti itulah handphone. Pemanfaatannya oleh siswa adalah suatu realita. Sekarang, kita, para pendidik, perlu mengarahkan bagaimana memanfaatkan handphone dengan sebaik-baiknya bukan sekedar sms, atau memutar musik, atau berfoto narsis, Apalagi merekam perbuatan tidak senonoh. Lalu, bagaimana kita sebagai guru mengajarkan pemanfaatan handphone kepada siswa? ini adalah hasil penelitian tindakan kelas, kami dan rekan-rekan tentang pemanfaatan handphone pada pembelajaran.


SMS Gateway

Suatu hari, kami harus berputar keras...bagaimana mengajar komputer TANPA komputer? Apakah sekolah kami tidak memiliki komputer ? Alhamdulillah, kami memiliki 10 komputer yang bisa digunakan untuk 33 siswa. Lumayan, walaupun dalam ruang berukuran 5 x 3 m tanpa AC. Sempit dan Panas. Tapi tetap Alhamdulillah. Namun  yang jadi masalah bukan komputer di sekolah. Tetapi kami mengajar siswa yang menganggap komputer adalah barang mewah. Mereka memposisikan komputer setara dengan sekolah. Mahal. Bukan karena harganya, tetapi mereka belum sadar apa fungsi dari komputer itu sendiri. Bagi siswa dan keluarganya hidup yang itu yang penting makan, kedua pakaian, lalu tempat tinggal, keempat motor, kelima handphone, keenam jalan-jalan, ketujuh sampai ketiga puluh tiga kebutuhan lain, dan yang ketiga puluh empat barulah komputer.

Bagi mereka, komputer adalah alat di sekolah dan kantor, bukan dirumah. Hasilnya 99 % siswa kami tidak memiliki komputer dirumah. Ditambah dulu ketika SMP mereka sering tidak dapat giliran mencoba komputer di rumah. Maka tidak heran ada siswa kami yang masih bingung dengan cara memegang mouse. Masih binggung bedanya hardware dan CPU. Bahkan mengira bahkan Brainware adalah CPU. Padahal mereka sudah setingkat SMK. Hal tersebut menjadi tantangan kami, guru KKPI. Setelah berputar otak, tiba-tiba terinsipirasi, dengan motivasi dari AA Gym dulu, tentang bagaimana cara kita menghafal.
Dulu Aa Gym pernah mengajarkan dalam tausiyahnya. Beliau berkata, "Jangan menghafal. Cukup dengarkan."
Lalu beliau menyebutkan nama benda dengan cepat. apel, kuda, hijau, rumput, rumah, hijau, mobil, kolam, hijau, rambut, hijau, kulit, hijau, tivi, hijau. setelah itu apa yang kita ingat. tentu kata hijau.
Karenanya saya sempat terpikir, bahwa siswa kami tidak bisa dan tidak termotivasi belajar komputer karena mereka tidak membiasakan diri dengan istilah komputer (karena mereka tidak punya komputer). Karena itu solusinya adalah mereka butuh gempuran informasi soal komputer, agar mereka telah tertanam tentang komputer dibenakknya. Lalu darimanakah sumber informasi itu? Buku? Sangat jarang dan mahal. Untuk membeli buku mereka harus menempuh jarak 20 km dari rumah. Sehingga, jika komputer ada kebutuhan nomor tiga puluh empat, maka buku adalah kebutuhan nomor dua sembilan. Televisi? coba tunjukkan, mana sinetron yang menyiarkan acara tentang komputer. Internet ? ooh tidak. Listrik saja baru masuk tahun 2007. Sinyal handphone yang ada baru 1 provider. Itupun hanya 2 bar. Maka kita bukan di tempat hot spot, tapi blank spot. Lalu tercetus ide. Satu-satunya sumber informasi yang bisa menjangkau semua siswa, dan memungkinkan adalah HANDPHONE. Dan siapa sumber informasinya? masalahnnya, tidak ada layanan *xxx# yang memberikan layanan informasi pelajaran. Lalu bagaimana? ya guru harus bertindak. Kami lah sumber informasi itu.
Kemudian kami membangun sebuah sistem SMS Gateway. Tidak dengan program macam-macam. Cukup menggunakan freeware handphone yang kami punya. Kebetulan kami memiliki handphone yang mendukung syncronisasi dengan komputer. Walaupun handphone kami hanya seharga 500 ribuan.
Hari pertama, kami coba dengan mengirimkan SMS serentak pada murid. isinya informasi komputer... "Komputer terdiri dari hardware, software, dan barinware" lalu sore harinya kami kirimkan SMS dengan bunyi "Hardware adalah perangkat keras. dan berfungsi untuk..bla.bla.bla" begitu seterusnya selama seminggu. Kami berkomitmen tidak ada bahasa alay. Siswa harus sering menerima SMS dengan bahasa yang baik dan benar. Bahkan pada minggu-minggu kedua mulai ada perubahan bahasa. Baku tapi komunikatif. Biasanya kami awali dengan "Tahu tidak?...."
Alhamdulillah...ada perubahan positif pada siswa kami. Antara lain, mereka lebih antusias dalam belajar. mereka tidak malu bertanya. Ternyata SMS kami memberikan kesan bahwa kami adalah guru yang ramah, walaupun bahasanya baku. Jadi, bagi mereka siswa di daerah terpencil yang biasa minder, merasa bodoh, dll, SMS kami bisa menjadi bentuk perhatian. Mereka pun mau mulai mengunjungi perpustakaan. Mereka mau membaca, terutama pada istilah yang mereka tidak tahu, tapi malu bertanya. memang tidak drastis. Kemampuan ketrampilan pun tidak melonjak. Tapi setiap perubahan akan sangat berarti. karena perubahan menuju lebih baik, berarti ada harapan.
Kemudian, pada tahun 2011, metode ini Kami PTK-kan dan Kami diajukan ke lomba tingkat provinsi. tujuan utamanya adalah masukkan untuk metode kami. Lalu ada satu pertanyaan dari penguji yang cukup berkesan. "Berapa biayanya? Bagi saya ini hanya e-learning yang memakan biaya." Sedikit telak waktu itu. tapi ini menjadi PR untuk kami. Memang, pembelajaran e-learning seharusnya sudah masuk berbasis internet atau MPI. Tapi jika internet ataupun komputer pribadi tidak ada, maka dua sistem tersebut mubah. Bahkan jauh lebih mahal. Lagipula, faktanya, metode SMS Gateway hanya memakan biaya 5000 per tiga hari. Mengapa? Kami hanya memanfaatkan betul panen gratis SMS promo dari provider. Mungkin mereka mengira 100 atau 10000 sms gratis tidak akan dihabiskan oleh pelanggan. Tapi bagi kami, semua promosi itu bisa bermanfaat betul. Maka cecaran pertanyaan pedas membangun tersebut, kami jadikan motivasi untuk membenahi diri dan terpenting kami mendapat perhargaan dan uang lebih untuk pulang./div>

VIDEO RECORDER


Dalam lomba PTK di Semarang tahun 2011, juara I diperoleh oleh bapak Sutanto dari SMK 2 Karanganyar. dan tidak disangka dan tidak dinyana, memiliki tema hampir serupa dengan kami, yaitu pemanfaatan handphone untuk pembelajaran. Visi kita pun sama. Bahwa kita perlu menggajarkan memanfaatkan handphone pada siswa. Namun kami dan pak Tanto menggunakan fitur yang berbeda. beliau menggunakan video recorder. Recording yang biasanya menjadi biang kesalahan siswa, karena untuk merekam macam-macam, beliau manfaatkan untuk merekam contoh materi pelajaran. Ketika guru mencontohkan suatu ketrampilan, pak Tanto menyuruh siswanya merekam. kemudian pak Tanto memeriksa hasil rekamannya. Apakah sudah betul belum. Dan ternyata cara tersebut sangat efektif untuk menurunkan tingkat kesalahan siswa dalam praktek. Karena dirumah, atau dimana saja, mereka bisa mempelajari lagi hasil rekaman itu. Praktek pun semakin efektif. Hal tersebut juga berdampak pada siswa yang semakin percaya diri dan memotivasi siswa belajar.suatu alternatif, yang bisa diterapkan  pada mata pelajaran lain.
Namun ketika saya terapkan pada siswa saya, mereka berkata "Kan setiap guru beda bu?" ya, ada guru yang justru keberatan jika siswanya diajar sambil merekam. Karenanya baru bisa kami aplikasikan pada pelajaran kami khususnya praktek.
Mungkin, masih banyak media lain yang bisa digunakan. Kembali lagi, metode ini kami terapkan justru untuk menutupi kekurangan, terutama fasilitas dan sarana. Seandainya siswa kami familiar dengan komputer, memiliki komputer sendiri, jaringan internet yang lebih luas, maka tentu kami akan menerapkan e-learning dan MPI disana. Tetapi jika semua itu tidak ada, kami percaya, bahwa kami akan tetap bisa belajar, dengan apapun yang ada.

Read more ...

Selasa, 20 Maret 2012

Guru Backpacker

Apa sih guru backpacker? Pertanyaan ini kerap dilontarkan oleh teman-teman kami. Sebenarnya guru backpacker bukan sesuatu yang special. Istilah ini terlontar begitu saja, karena 90 % guru baik pria maupun wanita – kecuali kepala sekolah- menggunakan tas ransel atau backpacker. Mengapa backpacker sangat digemari, tentu, karena lebih praktis dan aman. Menginggat, diantara kami harus menempuh jarak 15 sampai 25 kilometer sekali berangkat. Artinya rata-rata kami menempuh jarak 30 sampai 50 kilometer setiap hari untuk menuaikan tugas kami, yaitu mendidik murid.

Mungkin, terutama di kota besar, jarak sedemikian bukanlah jarak yang jauh. Atau mungkin waktu tempuh 1 hingga 2 jam, juga waktu yang biasa jika ditambah macet. Tetapi kami menempuh semua itu dengan kendaraan motor, melewati bukit dan hutan pinus. Lengkap dengan jurang dan longsor yang sewaktu-waktu mengancam dikala hujan. Ditambah dengan jalan sempit dan rusak, dan truk serta motor yang sepertinya lupa, bahwa mereka tidak sendirian dijalan. Makan tidak heran kecelakan kerap menimpa kami secara bergantian.

Apa itu yang terakhir? Tidak. Kami pun jauh dari informasi. Pernah, suatu saat kami ditelepon. Ada undangan pelatihan yang disampaikan di dinas dan kegiatannya terlah berlalu 2 hari yang lalu. Kurir dinas merasa smk kami terlalu jauh.

Dan berhubung sekolah kami baru didirikan tahun 2009, maka kami yang PNS harus menerima gaji di dinas. Dan kami cukup diuji kesabarannya, dengan tidak mendapat gaji di awal tahun kami mengajar. Tidak tanggung-tanggung, gaji kami tidak turun selama 3 bulan. Dengan alas an, berkas belum diurus kepusat, meski kami telah menyerahkan ke dinas tepat waktu. Sementara rekan-rekan kami yang ditempatkan di kota, cukup beruntung dengan menikmati gajinya tepat waktu. Meski demikian, kami yang PNS tetap lebih beruntung, dibanding para wiyata bakti yang digaji antara 150 – 400 ribu per bulan. Untuk beli bensin saja, terkadang kurang. Dan sedihnya, gaji itupun tidak akan naik, meski BBM naik.
Sekolah kami adalah sekolah negeri, yang diharapkan mampu meminimalisir angka putus sekolah. Siswa-siswi kami juga terpencil. Tinggal di lokasi, yang bahkan sinyal handphone hanya bisa dari satu provider. Itupun hanya 2 bar. Saluran televisi tidak bisa dinikmati kecuali dengan parabola. Internet? Lupakan saja. Soal karakter pun luar biasa. Mereka sangat kompak, dalam hal semau sendiri. mengumpat guru pun tidak sungkan mereka lakukan. Bahkan salah seorang teman guru pernah dikatakan ‘Anjing’ gara-gara menyita HP siswa tersebut. Soal input pun sangat memprihatinkan. Siswa yang mendaftar di sekolah kami, belum bisa menghitung 0,5 ditambah ½ . padahal kami adalah sekolah menengah atas. Bahkan mereka belum tahu yang mana bahasa inggrisnya rumah. House atau home? Dan mereka juga siswa yang bisa berdiri tegak, menunjukkan jari kepada guru, dan menyuruh guru untuk keluar ruangan, karena mereka tidak mau diajar. Siswa yang rata-rata pemuda dan pemudi ini, sungguh karakter yang sulit untuk diberi pengetahuan.
Fasilitas? Kami hanya bisa getir. Sekolah kami hanya memiliki bangunan untuk kantor, produktif dan kelas. Itupun sering bocor. Jalan tengah sekolah kami becek. Bahkan jika musim hujan, kami harus memakai sandal jepit agar tidak terpeleset. Jika kemarau, kami tidak memiliki air untuk kekamar mandi. WC guru saja tidak ada air, apalagi WC siswa. Namun siswa kerap sering memakainya jika tidak tertahankan lagi.  Maka  terbayang sudah, betapa bau dan kotornya. Kami tidak memiliki perpustakaan. Kami hanya memiliki 1 rak buku yang  diisi kurang lebih 300 buku dengan 90 judul buku saja. Ruang computer, masih cukup beruntung. Kami memiliki ruang computer dengan 15 komputer. Kami pun mendapat bantuan 15 laptop dan 6 LCD. Sayang, entah karena computer kami sumbangan pemerintahi , atau karena siswa kami belum terampil memakainya, computer kami sering sekali  rusak. Laptop bantuan pun ada yang datang dalam kondisi mati total. Mouse internal terbalik, wifi tidak menyala, dan ada baut yang terlepas disana-sini.
Tapi apakah kami menyerah? Tidak. Kami adalah guru. Dan bagi kami, guru adalah pekerjaan yang diamanahkan Tuhan untuk kami. Kami percaya, bahwa Tuhan tidak akan menyia-nyiakan kami. Setidaknya, Tuhan sudah memanjakan kami dengan pemandangan yang indah. Sawah yang luas terhampar, dipeluk oleh perbukitan. Alam yang masih alami, walaupun sudah terasa debunya. Bahkan ustad Ali Mu`in yang pernah memberikan tausiah di tempat kami mengatakan, bahwa ini jalan surga, tapi jika kita ikhlas menjalaninya. Karena nya kami ikhlaskan saja. Toh, tidak ikhlas juga percuma.
Kami sadar, bahwa tidak semua sekolah di Indonesia khususnya pula Jawa, memiliki fasilitas yang melimpah, dan siswa yang cerdas. Ada sekolah yang berfasilitas minim dengan siswa bekemampuan terbatas.  Tetapi mereka dituntut untuk tetap bersaing dengan mereka yang beruntung. Untuk itulah  kami disini. Membekali mereka agar siap menghadapi masa depan. Mereka bukan kaum pedalaman, mereka bukan suku terisolir. Mereka adalah minoritas. Dan disinilah kami ada, sekolah terpencil di pulau jawa. Kami tetap bersyukur, setidaknya setiap hari kami mendapatkan banyak cerita dan pengalaman. Inilah kisah kami, bersama backpacker kesayangan kami.
Read more ...

Bertanggung jawab dan Dapat dipercaya

Membaca judul diatas, teringat pada janji dasa darma pramuka, yaitu bertanggungjawab dan dapat dipercaya. Suatu sifat yang luhur dan diperlukan. Namun tanyakanlah pada orang disekitar anda. Mudahkah menjadi orang yang bertanggungjawab dan dapat dipercaya? Pasti jawabannya seragam. sulit. Padahal sifah ini harus melekat pada para pimpinan, termasuk pimpinan disekolah. Jika tidak, maka akan terjadi kisah seperti yang terjadi di suatu sekolah terpencil di antah berantah.
Hari itu sekolah terpencil di antah berantah heboh. Bagaimana tidak. hari itu ada jadwal pendidikan bela negara oleh Korem setempat. Mekanismenya, siswa pelajar dari seluruh kecamatan di kumpulkan di pusat kecamatan. Masalahnya, jarak dari sekolah kami ke kecamatan mencapai 15 km. Tak ada angkot pula. Tentu, anak-anak resah, guru-guru bingung namun kegiatan ini cukup esensial dan bersifat setengah `wajib`. Namanya saja bela negara, penyelenggaranya TNI-AD pula..sebagai stake holder, kita tentu mendukung segala hal yang positif untuk peserta didik. Sehingga ditetapkan bahwa siswa akan berangkat bersama - dengan segala kendaraan yang ada - pukul 08.00 (acaranya pukul 09.00). Pengumuman yang kami sebarkan sejak satu minggu yang lalu, dipahami betul oleh anak-anak. Sehingga mereka hanya membawa satu buku pelajaran saja di jam pertama.
Pagi saya sudah siap. Sebagai orang yang ditugasi mengawal anak-anak, saya sudah menyiapkan diri. Maka pukul 7.45 pak A sang koordinator melapor ke Kepsek menanyakan apa saja yang akan disiapkan untuk anak-anak. dan apa yang terjadi ?
Pak Kepsek justru berkata : lho pak, kan acara di undur jam 13.00 ? 
Suatu pernyataan yang membuat gempar..bagaimana tidak? anak-anak sudah siap berangkat. Kenapa tidak ada yang memberitahu kami...!!!
Apalagi Bapak Kesiswaan sedang izin karena keluarganya sakit. Untung saja alasannya masuk akal, coba kalau izin dengan alasan yang tidak masuk akal, legalisir ijazah misalnya..kita bisa sangat kecewa berat. Bapak Kesiswaan sebenarnya sudah mendapat informasi dari penyelenggara tentang pengunduran jam, sejak hari jumat malah. Tapi kenapa kabarnya tidak terdengar oleh kami, para koordinator. Ooh ya...mungkin salah kami juga, kenapa tidak menanyakan. Tapi lebih bersalah mana, orang yang bertanggungjawab dan tahu - tetapi tidak memberikan informasi, atau kita para bawahan dan tidak tahu - dan tidak menanyakan informasi ? Wallahualam. yang jelas, pagi ini tiba-tiba semua kacau. Kami berusaha keras membuat tenang siswa. Tapi siswa kami bukanlah anak kecil yang bisa dibujuk. mereka para pemuda yang berkemauan keras. dan mereka sangat kompak, terutama untuk protes dan menolak belajar. Alasanny karena tidak membawa buku. Kami berusaha keras menjelaskan duduk permasalahannya pada siswa. Untunglah kelas X OK. Mereka menurut dan mau belajar tanpa buku tulis. Kelas XII pun tidak ada masalah. Mereka tetap konsentrasi menghadapi ujian. Maka tinggal kelas tengah, alias kelas XI. Memang, jika sedari awal kami mengajari siswa yang telah terbiasa bersikap sopan santun, maka pasti akan terjadi diskusi dengan ramah dan saling mengerti. Tapi jika yang kami ajar adalah siswa yang terdidik dengan alam yang keras, mereka justru protes dan minta pulang. Bahkan ada yang minta nomer telepon bapak kesiswaan, mau dihadang dijalan.
Salah satu kelas kompak menyobek tiket yang sudah dibeli didepan guru dan menolak untuk belajar. Kami, para guru dengan tinggi tidak lebih dari 160 cm dan berat kurang dari 45 kg, harus menghadapi siswa-siswa yang tingginya rata-rata 170 cm dan berat 50 kg x 30 x 2 kelas. Hingga terpaksa 2 guru laki-laki harus turun tangan. Demikianlah kekacauan hari ini. Hanya itu saja? Tidak. Ternyata, para guru yang mengajar pada setelah jam ke 3 memilih izin untuk urusan keluarga. Sehingga lengkaplah sudah. Siswa tidak siap belajar, Guru tidak ada yang mengajar. Satu lagi, mereka protes bahwa harga tiket yang wajib mereka beli sebesar 4000, tetapi sekolah yang lain hanya 1000. Mereka bahkan menuding bahwa sekolah mencari untung. Padahal Demi Allah..kita semua tidak tahu. Kami hanya diinstruksikan untuk mengdistribusikan dan mengkoordinir siswa sesuai tanggungjawabnya.
Tanggungjawab? ya kata itu membuat kita malu. Ini tanggungjawab kita. Harusnya kita lebih kritis. Lebih banyak bertanya. Walaupun memang kami banyak dizalimi di sini. Whatever, ini tanggungjawab kami Untunglah, dengan kekompakkan para guru yang tersisa pagi itu, siswa berhasil kami ajak dialog secara demokratis dan tanpa mengintimidasi. Kami memahami mereka, tapi merekapun harus menurut dengan aturan kami. Akhirnya pelajaran kami lanjutkan sampai pukul 10.00 dan wajib hadir pukul 12.30 di lokasi - termasuk yang telah menyobek karcis, kami minta membawa sobekannya. Guru-guru yang bertugas, kami telepon satu persatu. Walaupun terlambat tapi mereka mau hadir yang memberi pelajaran barang beberapa menit. Dan ternyata mereka - baik guru dan murid- pun cukup konsekuen dengan hasil dialog kami. Kami memilih memulangkan siswa lebih awal, agar para siswa lebih leluasa memilih transportasi. Masalah lainnya, termasuk harga tiket akan kami bahas lebih lanjut. Ya, tentu harus dibahas. Ini masalah tanggungjawab, dan ini masalah kepercayaan. Terutama oleh kita, panutan negara, yaitu guru.

Read more ...
Designed Template By Blogger Templates - Powered by Sagusablog