Breaking News

Minggu, 25 Desember 2011

Guru Adalah Pemimpin

Pada saat ini, profesi guru tengah menjadi sorotan, menyusul dengan naiknya anggaran pendidikan sebesar 20 % dan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Terlebih dengan adanya program sertifikasi. Tidak jarang masyarakat menuding bahwa guru adalah `pegawai` yang dimanjakan dengan beragam fasilitas namun dengan pekerjaan yang `ringan`. Hal tersebut menjadikan tuntutan masyarakat terhadap guru juga semakin tinggi. Guru tidak hanya dituntut menjadi pendidik yang harus bisa mentransfer ilmu, namun juga harus membentuk akhlak dan moral yang baik pada generasi penerus bangsa. dan kerap masalah-masalah bangsa dilimpahkan begitu saja sebagai kesalahan seorang guru dalam kegagalan mendidik muridnya.

Menurut Sofa (2008) ada berbagai permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia. Pertama masalah kualitas/mutu. Kedua jumlah guru yang masih kurang. Ketiga masalah distribusi guru dan keempat masalah kesejahteraan guru. Dari keempat hal tersebut yang mampu diubah oleh seorang guru secara pribadi, adalah masalah kualitas/mutu guru tersebut.
Guru (dari Sanskerta: yang berarti guru, tetapi arti secara harfiahnya adalah "berat") adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalambahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, definisi kualifikasi adalah keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu, atau menduduki jabatan tertentu. Jadi, kualifikasi mendorong seseorang untuk memiliki suatu “keahlian atau kecakapan khusus”. Menurut Anwar Jasin dalam Mujtahid (2010) untuk mengukur kemampuan kualifikasi guru dapat ditilik dari tiga hal. Pertama, memiliki kemampuan dasar sebagai pendidik. Kedua, memiliki kemampuan umum sebagai pengajar. Ketiga, mempunyai kemampuan khusus sebagai pelatih. Sedangkan menurut Sugito (2007) kualifikasi minimal seorang guru memiliki standar kognisi (intelektual) dan afeksi (perilaku dan sikap) diatas rata-rata. Sesuai sejarah guru dalam ekspetasi kita, guru harus memiliki kualifikasi yang melampaui sekedar penguasaan pelajaran (kognisi), tetapi juga memenuhi prasyarat untuk mampu menggarap rasa, cipta, karsa dan sikap seseorang. Hal tersebut tidaklah berbeda dengan tugas seorang pemimpin. Sehingga dapat diistilahkan bahwa profesi guru adalah profesi yang setara dengan pemimpin, bukan sebagai bawahan atau pegawai biasa. Karenanya kualifikasi dasar yang harus dimiliki oleh guru di Indonesia, tentu adalah kualifikasi seorang pemimpin bukan pegawai apalagi buruh.
Sebagai seorang pemimpin, maka mendidik dan mencerdaskan bangsa adalah visi pribadi bukan beban tugasnya. Mengajar sepenuh hati adalah misi-nya bukan kewajibannya. Tanpa dituntut seorang guru akan melaksanakan pendidikan secara independent dan berpusat pada murid, dan bukan berpusat pada peraturan atasan. Jikalau menurutnya peraturan atasan baik, maka akan dilaksanakan. Namun jika peraturan hanya menjadi halangan dalam mencerdaskan murid, maka akan ditinggalkan. Visi dan misi yang sudah tertanam dalam jiwanya adalah mencerdaskan bangsa, dan bukan sekedar `bekerja` untuk mendidik orang lain. Ada banyak guru yang memiliki kualifikasi pemimpin dan menghasilkan generasi-generasi pemimpin. Dalam sejarah, kita mengenal Boedi Oetomo. Yang mengajar dan mendidik murid-muridnya dalam sekolah Boedi Oetomo sesuai dengan kebutuhan zamannya, yaitu pendidikan dan organisasi. Walaupun pada akhirnya sekolah tersebut ditutup, namun bekas pendidikannya terus melahirkan generasi muda yang akhirnya mampu memerdekakan bangsa. Kemudian, Soekarno sebelum menjadi seorang pemimpin, beliau pernah mengajari anak-anak mulai berhitung hingga sejarah di tempat pembuangannya, Bengkulu. Begitupun dengan Bung Hatta yang aktif menjadi guru anak-anak di lingkungannya. Beliau mengajari pengetahuan formal sekaligus non-formal, seperti organisasi dan kecintaan kepada bangsa Indonesia. Meskipun pada saat itu beliau sedang ditahan dan dilarang keras untuk mengajar, namun tetap dilakukan secara diam-diam. Karena visi dan misi para pemimpin diatas adalah mencerdaskan sesuai kebutuhan zamannya, dan bukan menuruti keinginan penguasa dan pemerintah saat itu, yaitu kolonial Belanda. Selain beliau, masih banyak pemimpin yang juga memberikan pendidikan layaknya guru mulai dari Ki Hadjar Dewantara, Tan Malaka, Djuanda, Nasution, bahkan Jenderal Soedirman pun pernah menjadi kepala sekolah di SD Muhammadiyah di Cilacap.
Keberhasilan para guru bangsa diatas, bukanlah karena mereka bekerja sebagai guru, namun karena mereka berjiwa sebagai guru. Disamping itu mereka memiliki kualifikasi pemimpin yang cukup hebat, sehingga mampu menghasilkan generasi penerus yang hebat pula. Visi dan misi mendidik ada dalam jiwa mereka, sehingga dimanapun mereka berada, ada atau tidak kesejahteraan, dalam posisi tenang atau genting, jiwa mendidik mereka tidak pernah padam. Demikianlah seharusnya kualifikasi yang dimiliki oleh seorang guru. Posisi guru saat ini sedang bergeser kepada pemahaman, bahwa guru adalah seorang pengajar yang digaji oleh negara. Kualifikasi yang dimilikipun cukup sebatas yang ditentukan negara. Padahal seharusnya kualifikasi seorang guru tidaklah dibatasi oleh negara, namun lebih dari itu. Sebelum dirumuskan dalam UU Sisdiknas 2003, guru harus sudah mematri jiwanya dengan kualifikasi seorang pemimpin.
Al-Ghazali, menjelaskan bahwa orang alim yang bersedia mengamalkan pengetahuannya adalah orang besar di semua kerajaan langit. Mengutip kitab Ihya `Al-Ghazali yang mengatakan bahwa siapa yang memilih pekerjaan mengajar maka ia sesungguhnya telah memilih pekerjaan besar dan penting. Meski demikian, hubungan guru-murid bukanlah dalam konteks ekonomi seperti seorang pemberi ilmu dan penerima ilmu, atau seperti seorang yang memberi jasa dan penjual jasa, tetapi justru hubungan guru-murid dalam konteks keagamaan atau melakukan perintah Tuhan. Sehingga seorang murid akan menghormati dan menuruti muridnya karena apa yang diajarkan oleh seorang guru adalah ilmu dari Tuhan. Penghormatan itu sama dengan penghormatan terhadap seorang pemimpin, dimana pemimpin adalah seorang yang dianggap memiliki ilmu tentang Tuhan lebih dari rakyatnya. Kesejahteraan yang diberikan pada guru, juga merupakan bentuk penghargaan kepada seorang pemimpin, bukan sekedar gaji atau imbalan. Namun tentu, penghargaan tersebut juga harus diimbangi dengan sikap guru yang layak dihormati bukan karena materinya atau kedudukannya, tetapi karena kepemimpinannya.
Tentu, seandainya guru di Indonesia mampu meningkatkan jiwa pemimpinnya, maka pendidikan di Indonesia akan semakin maju peradabannya.
Bersambung...(10 kesalahan guru di Indonesia yang menyebabkan sulit maju versi Guru On_Spot) Daftar Pustaka : http://ath-thullab.blogspot.com/2009/07/kedudukan-guru-dalam-pandangan-islam.html http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/01/memahami-tentang-kualifikasi-guru.html http://id.wikipedia.org/wiki/Guru http://massofa.wordpress.com/2008/10/12/permasalahan-guru-di-indonesia/
Read more ...

Ketika Kematian Memanggil

Aku termangu memandang sosok didepanku. Ia terbaring kaku diselimuti kain berlapis. Sekujur tubuhnya terbalut kain kafan berwarna putih.dan dihidungnya terdapat gumpalan kapas,sedangkan matanya menutup. Terlihat damai seperti orang yang baru saja tidur.

Saat itu ramai. Orang-orang sibuk menata kursi. Di luar ada kain yang dipasang segi empat dan dibawahnya tanah masih basah. Di situlah tempat jenazah itu baru saja dimandikan.dan kini tempat itu sudah dibereskan diganti dengan kursi-kursi yang tertata sembarangan serta piring berisi permen yang diletakkan begitu saja. Tentu saja permen-permen malah jadi rebutan anak-anak, daripada orang-orang yang berwajah duka.
Suasana didalam rumah pun tidak jauh berbeda. Semua orang sibuk memindahkan isi rumah keluar, sehingga ruang tamu rumah itu kosong. Hanya tersisa jenazah dan orang-orang yang mengelilinginya dengan mata sembab karena menangis. Sejenak, sekumpulan bapak-bapak datang dengan muka dan tangan yang basah dan air menetes darinya. Mereka membenahi baju dan saling menatap untuk mengatur barisan sholat. Segera setelah itu mereka menyusun shaf dan memulai sholat jenazah dengan pak haji di depan dan aku pun dibelakang mereka.
Setelah itu suasana kembali riuh. Satu persatu pelayat menyalami keluarga jenazah. Di sisi jenazah, tampak ibu temanku yang menanggis terguguk. Disebelahnya ibuku terdiam sambil meneteskan air mata. Kedua orangtua kami memang bersahabat. Temanku sangat akrab dengan keluargaku, bahkan sudah seperti anaknya sendiri. Begitupun aku. Sehingga tidak heran, jika saat ini keluargaku dan keluarga temanku pun bersedih. Mereka saling menghibur dan saling memberi kekuatan agar tabah menghadapi ujian.
Ketika waktu hampir pukul 11, beberapa laki-laki yang kekar mengambil keranda jenazah. Setelah itu jenazah dipindahkan dan diangkat dalam keranda. Sebelum keranda dibawa ke pemakaman, diadakan upacara singkat dipimpin Pak Kayim. Setelah itu, dari pihak keluarga dan pihak tokoh masyarakat memberikan komentar satu persatu, maka jenazahpun diberangkatkan. Saat itu tangis ibu temanku semakin terguguk, dan ibuku memeluknya sambil menangis dalam diam.
Namun tiba-tiba, ketika jenazah akan dimakamkan, ibu temanku berteriak “Roni!”. Semua kaget, termasuk aku, dan aku pun menoleh ke asal suara.
***
Waktu berputar satu bulan kebelakang. Saat itu Roni mengatakan bahwa dia menyukai seseorang. Sebagai sahabat yang seperti saudara akupun mendukungnya. Dan saat aku tanya siapa namanya, dia bilang, “Ratna”.
Aku kaget. Ratna, adalah gadis manis dan baik dikelasku. Tipe seperti Ratna banyak yang menyukainya, termasuk aku. Tapi tentu diam-diam. Aku tidak berani menyatakannya.
Ternyata, kini ternyata Roni pun menyukainya. Aku menjadi bingung. Apalagi dia minta aku untuk menyampaikan salam untuknya. Aku semakin bingung.
“Hai”
Aku terkejut, Ratna sudah didekatku.
“Mana pacarmu ? biasanya kalian berdua terus”
“Siapa? Aku belum punya pacar kok.”
“Itu” sudut matanya mengarah pada Roni yang sedang main basket di lapangan.
“Ooo..” Aku tersenyum “Kita kan normal, suka juga cewek kok” aku mulai bercanda untuk mencairkan suasana, sambil menggoda gadis manis itu.
“Apaan sih ?” dia mulai merona merah. Tiba-tiba di berkata, “Habis..ada cewek cantik gini dianggurin. Kamu lebih sering bareng sahabatmu daripada bareng cewek cantik didepanmu ini”
Aku terdiam. Mukaku memerah. Muka Ratna juga. Apa maksudnya dia berkata semua itu? Apa artinya dia menyukaiku? Ah, tidak mungkin. Ini cuma perasaanku. Aku cuma ge-er aja.
Tiba-tiba Roni menepuk pundakku. “Hei, ngobrol apa nih. Serius banget. Eh, ada Ratna”
Aku dan Ratna sama-sama kaget. Sejurus kemudian, dia sepertinya tidak suka dengan kehadiran Roni.
“Ya udah deh. Nanti ketemu lagi ya dikelas. Bye”
“ Bye” Roni yang menjawab. Tak kuasa melihat Ratna yang beranjak pergi.
Kemudian, dia bertanya padaku. “Ngobrol apa nih, sama Ratna? Kayaknya serius banget”
Aku masih dalam kagetku, dan hanya menjawab sekenanya “Dia nitip salam buat mu”
“Beneran? Asyiiik…” Roni kelihatan riang. Tapi aku tidak peduli. Aku masih memandangi sosok Ratna yang menjauh dan tergiang kata-katanya yang terakhir baru saja.
Selanjutnya aku dan Ratna semakin dekat. Meskipun kita tidak pernah menyatakan secara lisan, tetapi bahasa tubuh kami sudah saling menceritakan, bahwa kami menyukai satu sama lain. Hanya saja hatiku terus berontak, terutama jika aku mengingat Roni, yang terus menitipkan salam tetapi aku abaikan begitu saja.
***
Sebulan kemudian, Roni tiba-tiba mendatangi-ku dengan muka marah. Wajahnya mengeras menahan emosi. Nafasnya memburu dan tangannya mengepal siap menghancurkan apa saja yang menghalanginya. Aku sampai kaget. Baru kali ini, aku melihat Roni semarah itu.
Secepat kilat dia menuju-ku. Menerjang semua teman-temanku yang menghalangi jalannya.
“Kurang ajar, Kamu !! Beraninya makan teman sendiri. ” sekuat tenaga dia mencengkeram kerah bajuku.
Aku berusaha menaham tenaganya yang semakin kuat karena emosi “Apa maksudmu Ron?”
“Kamu pacar Ratna kan? Kamu merebut Ratna dariku kan?!” Roni hampir saja memukul aku. Aku terpaksa mendorong tubuhnya.
“Dengar dulu penjelasanku.”
Roni justru semakin marah ketika aku mendorongnya. Dia malah mengejarku dan hendak memukulku. Teman-teman yang berusaha melerai dihempas begitu saja olehnya.
“Ratna yang mengaku. Baru saja aku menyakan cinta padanya..tapi katanya dia sudah punya pacar..yaitu KAMU.!!!”
Roni mulai mengamuk, dan aku berusaha tidak terjangkau olehnya. Pikiranku buntu. Aku pun tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Yang kupikirkan, bagaimana bisa secepatnya menghentikan Roni yang sudah seperti banteng terluka itu.
“Aku dan Ratna tidak pacaran. Itu alasan untuk menolakmu” setengah berteriak aku padanya. Tak percaya sahabatku selama ini sangat emosional dan marah padaku. “Tenang dulu Ron”
Tapi Roni tidak mendengarku. Tiba-tiba dia mencekalku. Dan aku harus mempertahankan diri. Hingga perkelahian itu tidak terelakkan.
Saat itu aku ingat ada cutter di saku celanaku. Mungkin bisa aku gunakan untuk menakutinya. Ketika aku ambil cutter itu, dia melihatnya. Dan kami bergumul sangat sengit. Bertarung memperebutkan cutter di tanganku.
Tiba-tiba…”AAARGH!!!!!..” Roni berteriak.
Dan kami membeku. Saling menatap dengan nafas memburu. Waktu seakan berhenti sampai kami bisa mendengar suara menetes. Tes..tes…suara tetesan darah. Salah seorang dari kami terluka. Kemudian gelap, aku tidak ingat apa-apa.
***
“Roni !!” ibu temanku berteriak dan kami semua menoleh. Saat itu kami melihat ibu temanku berlari ke seorang pemuda. Dia datang bersama polisi yang mengawalnya. Tangannya terikat borgol. Terlihat jelas bahwa dia adalah tahanan polisi. Ibu temanku berteriak dan berlari memeluknya. Semua mata memandangnya. Termasuk aku.
Kemudian Roni datang menemui ibuku. Dia berlutut dan menunduk didepan orangtuaku. Bibirnya terus mengucapkan kata-kata maaf sambil menangis. Dia tampak sangat menyesal. Siapapun yang melihatnya terharu. Apalagi orangtuku yang sangat baik dan pemaaf itu. Ibuku kemudian meraih pundaknya. Sambil berkata ini sudah takdir. Kita harus tabah. Saat ini, suasana menjadi sangat mengharukan.
Setelah itu pemakaman dilanjutkan. Roni meminta untuk ikut menurunkan dan memakamkan jenazah. Sambil air matanya terus bercucuran. Terakhir Pak Kayim membacakan beberapa doa yang terasa menyejukkan untukku, dan setelah usai, satu per satu pelayat pulang. Tinggal keluargaku dan keluarga Roni. Juga Roni yang berdiri di dekat makam didampingi polisi disisinya.
“Maafkan aku Galih..maafkan aku….” Roni masih menangis sambil terisak didepanku. Aku hanya terdiam.
Dan kemudian Roni pergi setengah ditarik oleh polisi-polisi itu. Seandainya tidak ditarik, mungkin Roni tidak mau kembali ke tahanan. Kemudian diikuti oleh keluarga Roni dan keluargaku.
Kini, tinggal aku sendiri. Berada sendirian disini. Aku mulai ketakutan. Sebentar lagi, aku akan dilupakan. Saat ini mereka menangis, akankah esok mereka masih menangis? Tiba-tiba aku merasa sesuatu yang mendekat dan semakin dekat. Aku semakin ketakutan. Apa itu? apakah amalku yang baik, atau amalku yang buruk ?
***
Read more ...

Kesetiaan Bulan

Baturraden pinggiran kota Purwokerto. Tempat aku di lahirkan. Ramai. Setiap hari banyak orang datang dan pergi. Apalagi ketika musim liburan tiba, rasanya tempat ini tak mampu menampung para wisatawan yang berkunjung. Turis dari segala penjuru. Mulai dari mereka yang mengendarai bis eksekutif ber-AC dan nyaman, hingga mereka yang beramai-ramai menggunakan truk atau bak terbuka. Tak heran, mengapa mereka begitu menyukai tempat ini. Udara sejuk yang menentramkan hati, serta pemandangan yang indah, adalah daya tarik kecamatan tercintaku ini. Aku senang melihat keramaian di sini. Namun terkadang aku merasa sepi. Di sana memang ramai, namun silih berganti. Tak ada yang tetap. Dimataku tak ada kesetiaan, kecuali nama-nama hotel yang berjajar di pinggir jalan. Ramai, namun sepi dari ketetapan dan rasa setia.

Rumahku kecil, dan tidak terkenal. Namun di dekat sini ada jalan yang sangat terkenal. Buktinya, tanyalah setiap orang, pastilah tahu, di mana gang sadar. Aku tinggal tidak tepat di gang itu. Kira-kira 100 meter dari gang yang populer itu. Di belakang rumah pak Saleh pedagang sate. Namun kadang-kadang ketika ada yang bertanya rumahku di mana, supaya mudah, aku bilang saja gang sadar. Awalnya aku tak tahu kenapa mereka terkejut. Tapi sekarang aku sadar. Gang ini memberi noda di kecantikkan baturaden. Setidaknya sekarang aku menyadarinya, bahwa aku mulai membenci gang itu. Gang yang membawa aku kesini, di tempat aku hanya berdua dengan anakku. Anak tanpa bapak yang harus kutanggung seumur hidupku.
Namaku Hanum. Sejak kecil, aku suka sekali melihat bulan. Bagi-ku bulan adalah kesetiaan. Tidak seperti pengunjung, yang datang dan pergi, seperti ayahku yang pergi tak pernah kembali, atau ibuku yang pergi lama di Taiwan, namun setelah kembali pun tak pernah ada di rumah. Walaupun sesungguhnya aku tau dia menyayangiku. Tapi aku tetap menyukai bulan. Keindahan dan kelembutan yang tidak segarang matahari, namun tetap setia datang setiap malam, walau kadang tertutup awan. Selalu tersenyum lewat jendela kamarku. Lembut, tanpa peduli apakah aku sudah belajar atau belum, sudah mandi atau belum. Malah aku sendiri yang malu jika bulan tersenyum sedangkan aku sedang malas-malasan.
Lima tahun berlalu, dan aku kelas 2 SMA. Ibuku pulang. Dengan berganti gaya. Jilbab yang digunakan ketika berangkat, berubah menjadi rambut merah dibonding dan smoothing. Baju gamis dan daster yang kerap digunakan, kini berganti dengan jeans pensil dan kaos ketat, seperti ukuran balita yang digunakan remaja. Wajah ibuku pun tetap cantik dan menawan, walau tetap tergurat rasa lelah di dalamnya. Guratan itulah yang membuatku tidak mampu protes pada perubahan ibu. Apalagi karena ibulah aku tetap sekolah dan menjalani hari-hari seperti remaja normal lainnya, walau tanpa ayah.
“Num”
“ya bu”
“Priwe sekolahmu?” (gimana sekolahmu?)
“baik”
“wis nduwe pacar rung?”(udah punya pacar belum?)
Aku tersipu malu.mendengar pertanyaan ibu yang tiba-tiba.
“dereng” (belum)
“temenan? Lah kae sing sering mboncengna kowe sapa?” (beneran? Itu yang sering mengantar kamu siapa?)
“Ranto. Kanca sekolah”(Ranto, teman sekolah)
“kanca apa kanca?” (teman apa teman?)
“temenan kanca” (beneran teman)
“ngesuk kon mampir.aja wedi mampir ngeneh.kenalan karo ibu.” (besok suruh mampir. Jangan takut mampir kemari. Kenalan karo ibu).
Wah, campur aduk rasanya. Ibuku ingin kenal Ranto. Pria yang selama ini membuatku gemetar. Dia baik padaku, pun setia dengan mengantarku pulang sejak 3 bulan ini. Salah satu kesetiaan yang sempat kukenal.
Ranto anak orang kaya. Entah mengapa dia sekolah di SMA Kecamatan. Penampilannya sangat kontras dengan teman-temanku. Kendaraannya motor thunder yang terlihat mewah untuk kalanganku. Handphonenya saja tidak aku tahu cara menggunakannya. Kalau tidak salah, Blackberry merknya. Teman-temanku selalu berlomba menirunya. Namun begitu harga blackberry sama dengan tabungan kita 10 tahun, maka mereka hanya mampu meniru imitasinya. HP cina dengan harga 300-an namun tampilan hampir sama, sudah membuat mereka puas. Murah-meriah namanya.
Selain kaya, Ranto juga setia. Kesetiaannya hampir seperti bulan. Bersamanya kadang malah aku melupakan bulan. Ranto bisa menyanjungku. Membuatku bangga di depan teman-temanku. Siapa yang tidak bangga. Bisa menjadi pacar seorang yang paling kaya di sekolahku. Ranto memang pandai memanjakan ibu. Diapun sopan dan selalu membelikan oleh-oleh ketika berkunjung. Bahkan kadang-kadang dia mengantar aku dan ibuku jalan-jalan dengan Xenia milik keluarganya. Karenanya ibuku sangat setuju aku menjadi pacarnya
Sejak itu Ranto semakin sering berkunjung kerumahku. Sesekali dia juga menginap di rumahku. Kata ibu itu biasa. Lihat tante Heni depan rumah. Teman laki-lakinya juga sering menginap di rumahnya. Berganti-ganti pula. Kadang mereka di depan bercengkrama. Teman laki-lakinya kerap memeluk dan mencium di depan umum. Ranto pun terkadang begitu. Alasannya hanya menggodaku saja. Namun terkadang aku yang merasa tidak nyaman. Ibu yang sering melihat kami berdua juga diam saja. Walau ku tahu dalam tatap matanya ada sebersit kemarahan, namun entah mengapa tidak berucap dari mulutnya.
“Num”
“Nggih bu” (ya bu?)
“Ko wis ngapa bae karo Ranto?” (kamu udah ngapain aja sama Ranto?)
“Maksud-e?” (maksudnya?)
“Wis ambung-ambungan apa? Apa wis turu bareng?”(Udah ciuman? Apa udah tidur bersama?)
Mukamu merah. Walaupun masih SMA aku juga tidak segila itu, dalam hatiku.
“Ya oralah.tasih sekolah ko.” (ya tidaklah. Masih sekolah kok).
“Geh, bocah wadon kuwe, kudu nggolet bojo sing apik. Sing bisa nguripna aweke dhewek karo anakke dhewek mengko. Kowe kan wis gadis. Diseriusi bae karo Ranto. Wong lanang apik akeh sing nggolet. Aja ngasi Ranto lunga, gara-gara kowe. Mengko malah ora payu dadi nyesel kowe” (Anak perempuan itu harus mencari suami yang bagus. Yang bisa menghidupi diri kita dan anak kita nanti. Kamu kan sudah gadis. Diseriusi saja hubunganmu dengan Ranto. Laki-laki yang bagus banyak yang nyari. Jangan sampai Ranto pergi gara-gara kamu. Nanti malah nggak laku jadi menyesal kamu.)
Ibu diam sejenak
“Ngomong bae karo Ranto. Kapan dilamar. Tunangan ndisit ya kena. Mengko nek kowe lulus, Ranto wis lulus nembe nikah. Sing penting kowe njaga awakmu dhewek. Aja ngasi pacaran kebablasan. Kowe ora kepengin anakmu ora nduwe bapak kaya kowe mbok ?” (Bilang saja sama ranto, kapan dilamar. Tunangan dulu juga boleh. Nanti kalau kamu sudah lulus, Ranto sudah lulus, baru nikah. Yang penting kamu jaga diri. Jangan sampai pacaran kebablasan. Kamu tidak ingin anakmu tidak punya ayah seperti kamu kan?)
Aku terdiam. Bingung. Ucapan ibuku ada benarnya. Tapi haruskah demikian? Hari demi hari berlalu. Hingga suatu hari, ketika kita berdua sendirian di rumah, aku beranikan diri untuk bertanya kepadanya.
“Yang, kamu serius nggak sama aku?”
“Ya serius lah. Emang selama ini aku kelihatan bercanda. Udah hampir satu tahun lho hubungan kita”
“Iya. Aku tahu kok” kataku sambil tersenyum.
Memang sudah hampir setahun. Kamipun sudah kelas 3 SMA.
“Ibuku bilang, kapan kamu mau lamar aku”
Ranto agak terkejut mendengar ucapanku. Tapi dia tetap menguasai diri.
“Ya…nanti-lah kalau kita udah lulus.aku udah kerja, kamu juga kalau mau kerja. Kita punya rumah sendiri..baru deh kita nikah. Pasti indah banget kan. Kamu mau kan?”
Aku tersenyum.
“Ya mau lah…”
Kemudian kami berada dalam kebisuan. Sibuk dengan pikiran kami. Sampai Ranto tiba-tiba mengatakan sesuatu padaku.
“Emang kamu mau nikah sama aku?”
“Mau, kalau nggak mau ngapain pacaran sama kamu?”
“Tapi kok kamu nggak pernah buktiin padaku?”
“Buktiin gimana?”
“Kalau sayang, jangan takut dipeluk, jangan takut dicium dong? Kamu jijik ya sama aku?”
“Nggak lah, kok kamu gitu sih”
“Yang, kamu tuh segalanya bagiku. Aku butuh kamu. Kamu tahu sendiri. Kalau sedih aku lari ke kamu. Aku senang, penginnya bareng kamu. Aku pengin milikki kamu seutuhnya. Kamu mau kan? Jangan menjauh dari-ku ya. Aku akan lebih tenang jika bersamamu. Dipeluk kamu.”
Aku agak melambung mendengar kata-kata itu.Aku merasa, aku benar-benar mencintainya, hingga tak sadar aku mengangguk. Dan seterusnya aku diam saja ketika dia melingkarkan tangannya di pundakku. Kata ibu, aku harus menjaganya. Maka jika Ranto bahagia dengan begini, mengapa tidak?
Itu awalnya dan aku terus terbuai. Ranto benar-benar pandai membuatku melayang. Dibuatnya aku berarti dan merasa sangat disayang. Dia semakin memanjakanku, walaupun dia juga meminta lebih dariku. Sampai akhirnya aku lupa pesan ibu untuk menjaga diri. Yang aku ingat, hanyalah aku mencintainya, dan ingin membahagiakannya. Aku ingin menjadi kesetiaan untuknya.
Suatu ketika, aku sadar. Ada yang tidak beres dari tubuhku. Sudah 2 minggu aku terlambat menstruasi. Kacau, pikiranku berkecamuk. 3 bulan lagi aku ujian, dan mengapa justru kekacauan ini muncul sekarang. Segera aku menelepon Ranto. Entah mengapa sudah lebih dari dua minggu dia tidak pernah kerumah. Alasannya sibuk les. Padahal dulu dia sering bolos les demi kerumahku.
“To” Aku sampai lupa memanggilnya `yang` seperti biasa.
“Ya” katanya di seberang telepon.
“Aku hamil 2 bulan”
“Apaaa???kamu yakin? Udah cek ke dokter belum?”
“Belum. Tapi bulan ini telat mens-nya. Biasanya nggak gitu”
Dia diam. Lama, dan aku mulai cemas.
“Gini aja deh. Coba kamu pastiin ke dokter. Terus nanti biar aku cari jalan keluar. kamu bisa sabar kan? Jangan sampai orang lain tahu” dia berujar.
“Ya” aku menjawab lirih.
Setelah itu aku periksakan diri ke bidan.dan ternyata aku hamil sudah satu bulan. segera aku sms dia. Namun tidak juga dibalas. Dua minggu berlalu. Dan rahasia ini hanya aku dan dia yang tahu. Kucoba tetap setia menunggu. Walaupun rasanya tidak karuan menahan semua ini sendiri. Sering aku sms ke dia. Namun tidak pernah sekalipun dibalasnya. Disekolah pun dia hanya diam. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Hingga suatu ketika,
“Halo..benar ini Hanum” suara seorang wanita meneleponku
“Iya”
“Ini ibunya Ranto” hatiku bergolak. Mengapa tiba-tiba wanita yang kuhormati ini meneleponku. Masalah itu kah?
“Iya bu.”
“Benar kamu hamil?” Jantungku berdetak kencang. Apakah ini pertanda baik?
“Iya bu. Sudah 6 minggu”
“Anak Ranto?” Aku berdesir..darahku yang mengalir terasa membeku.
“Tentu saja. Saya hanya berhubungan dengan Ranto”
“Bukan anaknya siapa itu, temanmu yang memberi tahu ibu? Sofyan? Perhatian betul dia sama kamu? Kamu yakin itu anak Ranto”
Rasanya aku ingin menangis. Bagaimana mungkin mereka meragukan anak dalam kandunganku ini. Aku tidak mengerti mengapa Sofyan menelepon ibunya Ranto. Oh, aku tahu. Sofyan anaknya bidan Arum. Tentu dia diberitahu ibunya. Dia juga sahabat Ranto, tapi aku tidak pernah menyuruhnya memberitahu ibunya.
“Saya tidak tahu bu. Ranto meminta saya diam. Dan saya tetap diam selama ini”
“Gini ya. Ranto masih muda. Dia masih harus kuliah dan kerja. Dan itu adalah aib bagi keluarga kami. Sudah gugurkan saja kandunganmu. Nanti saya yang biaya-in.”
Suara itu bagai petir untukku. Bagaimana mungkin seorang ibu tega menyuruhku menggugurkan kandungan.
Setelah itu dia mematikan teleponnya. Membiarku dalam penyesalan dan kebingungan tak berujung. Apa yang harus kukatakan pada ibuku, pada keluargaku, pada dunia? Ya Tuhan. Akhirnya aku menyebutMu. Ketika dunia sudah runtuh dihadapanku.
Setelah itu aku berterus terang kepada ibuku. Dan seperti kuduga, ibu mengajakku ke rumah Ranto. Namun ternyata disana lebih menyakitkan. Mereka menghina ibuku. Menghina asal-usulku. Dan mengusir kami begitu saja.
Ranto pun hanya terdiam. Dia tidak pernah lagi bicara apa-apa padaku. Dia hanya mengirimkan sms singkat.
“Maafkan aku. Aku tidak bisa melawan perintah ibuku. Aku takut”.
Dan aku tahu, dunia benar-benar runtuh dihadapanku. Meski demikian, aku tidak ingin menyerah. Aku tidak ingin mengugurkan kandunganku.
Tapi aku juga tidak ingin takdir ini menjadi kesetiaan untuk keluargaku. Berulang dan berulang terus di setiap generasi. Harus ada perubahan. Harus ada yang merubah nasib.
Akhirnya aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Aku berjalan menumpang angkot kemanapun berjalan. Entah kemana tujuanku. Hingga suatu ketika ada seorang ibu memandangku iba. Diajaknya aku turun dan dibawanya aku ke daerah Cilongok. Ternyata dia adalah seorang Nyai di suatu pesantren. Aku sungguh beruntung bisa bertemu dengan beliau. Dibimbingnya aku di sana. Walaupun aku harus bekerja sebagai pembantu di rumahnya, setidaknya batin ku terasa tenang. Aku semakin mantap untuk tetap merawat kandunganku. Biarpun nanti aku mendapatkan beban mental, untuk menjelaskan padanya, bahwa dia tidak memiliki bapak. Syukurlah,bu Nyai mendukung keputusanku. Beliau menyetujuinya dan memperbolehkan aku merawat anakku sambil bekerja di rumahnya.
Di lingkungan pesantren. Akupun sembari terus belajar. Mengejar ketertinggalanku mendekat pada Allah. Yang Maha Setia pada hamba-Nya, dan mengirimkan bulan untuk setia mengawasiku. Namun justru aku tinggalkan, ketika aku merasakan kesetiaan semu.
Kini aku berusaha keras untuk merawat anakku seorang diri. Menjadi suatu kesetiaan untukknya. Agar aku tidak memberi anakku takdir yang sama denganku.
“Bu, ayah bulan mana?”
“Bulan kan tidak punya ayah. Bulan cuma punya ibu”
“Bulan tidak punya ayah?” aku mengangguk, dan dia terdiam.
Aku pun menunggunya, menyiapkan diri pada reaksi apapun yang dia munculkan. Sampai akhirnya dia berceloteh.
“Nggak papa deh. Bulan sayang ibu kok” kemudian dia memelukku.
Aku terharu. Ya, nak. Ibu pun sayang padamu.
Read more ...

Belajar Menerima Kesalahan

mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia
satu baris kata dari nidji yang selalu tergiang dalam benak saya. sangat inspiratif dan bisa mengunggah semangat, terutama ketika down dalam masalah dunia-akhirat yang tidak mudah, yaitu -mendidik-.
mendidik adalah sebuah amanah yang diberikan pada manusia, baik itu guru atau bukan. selama mereka masih mengikuti syar`i NYA sebagai makhluk hidup, yaitu berkembang biak, maka Allah memberikan satu amanah yaitu mendidik anak-cucu kita. mungkin jika kita hewan atau tumbuhan, kita bisa saja menyerahkan peran itu kepada alam. namun karena kita adalah makhluk yang diciptakan paling sempurna, dengan segala akal dan qolbu kita, maka kita harus berperan besar dalam mendidik bukan hanya sekedar menyerahkan anak yang kita lahirkan pada alam atau lingkungan.

namun dalam perjalanan manusia, mendidik menjadi dapat terwakilkan oleh suatu lembaga, bernama sekolah dan ditumpu-kan kepada guru. di Indonesia, peran guru sungguh berat, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. namun entah dimana salahnya, sepertinya belum ada kata sepakat apa dan bagaimana --mencerdaskan bangsa-- itu.

kata-kata mencerdaskan masih disempitkan dengan pengajaran yang diharapkan bisa tiba-tiba berubah menjadi mencerdaskan. standar yang diharapkan adalah standar yang menyentuh ranah kuantitas belum kualitas. cerdas diukur berdasar angka, bukan kemajuan. dan lembaga baik itu diknas, sekolah atau guru, masih berkutat pada hasil dan gaji. suatu lingkaran setan yang entah terurai sampai kapan.

karena itulah kembali kepada kita, apapun profesinya, kita adalah guru. setidaknya untuk anak-anak dan lingkungan kita. apalagi yang berprofesi menjadi guru. harus tetap fokus pada amanah walaupun sering direpotkan dengan tuntutan dan kesenjangan. untuk menuaikan amanah, kita butuh qolbu. karena qolbu yang akan menggerakkan seluruh jiwa, hingga kita bisa menuntun hingga ke arah tujuan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

mari tunaikan amanah dengan qolbu.

Read more ...
Designed Template By Blogger Templates - Powered by Sagusablog