Breaking News

Minggu, 25 Desember 2011

Kesetiaan Bulan

Baturraden pinggiran kota Purwokerto. Tempat aku di lahirkan. Ramai. Setiap hari banyak orang datang dan pergi. Apalagi ketika musim liburan tiba, rasanya tempat ini tak mampu menampung para wisatawan yang berkunjung. Turis dari segala penjuru. Mulai dari mereka yang mengendarai bis eksekutif ber-AC dan nyaman, hingga mereka yang beramai-ramai menggunakan truk atau bak terbuka. Tak heran, mengapa mereka begitu menyukai tempat ini. Udara sejuk yang menentramkan hati, serta pemandangan yang indah, adalah daya tarik kecamatan tercintaku ini. Aku senang melihat keramaian di sini. Namun terkadang aku merasa sepi. Di sana memang ramai, namun silih berganti. Tak ada yang tetap. Dimataku tak ada kesetiaan, kecuali nama-nama hotel yang berjajar di pinggir jalan. Ramai, namun sepi dari ketetapan dan rasa setia.

Rumahku kecil, dan tidak terkenal. Namun di dekat sini ada jalan yang sangat terkenal. Buktinya, tanyalah setiap orang, pastilah tahu, di mana gang sadar. Aku tinggal tidak tepat di gang itu. Kira-kira 100 meter dari gang yang populer itu. Di belakang rumah pak Saleh pedagang sate. Namun kadang-kadang ketika ada yang bertanya rumahku di mana, supaya mudah, aku bilang saja gang sadar. Awalnya aku tak tahu kenapa mereka terkejut. Tapi sekarang aku sadar. Gang ini memberi noda di kecantikkan baturaden. Setidaknya sekarang aku menyadarinya, bahwa aku mulai membenci gang itu. Gang yang membawa aku kesini, di tempat aku hanya berdua dengan anakku. Anak tanpa bapak yang harus kutanggung seumur hidupku.
Namaku Hanum. Sejak kecil, aku suka sekali melihat bulan. Bagi-ku bulan adalah kesetiaan. Tidak seperti pengunjung, yang datang dan pergi, seperti ayahku yang pergi tak pernah kembali, atau ibuku yang pergi lama di Taiwan, namun setelah kembali pun tak pernah ada di rumah. Walaupun sesungguhnya aku tau dia menyayangiku. Tapi aku tetap menyukai bulan. Keindahan dan kelembutan yang tidak segarang matahari, namun tetap setia datang setiap malam, walau kadang tertutup awan. Selalu tersenyum lewat jendela kamarku. Lembut, tanpa peduli apakah aku sudah belajar atau belum, sudah mandi atau belum. Malah aku sendiri yang malu jika bulan tersenyum sedangkan aku sedang malas-malasan.
Lima tahun berlalu, dan aku kelas 2 SMA. Ibuku pulang. Dengan berganti gaya. Jilbab yang digunakan ketika berangkat, berubah menjadi rambut merah dibonding dan smoothing. Baju gamis dan daster yang kerap digunakan, kini berganti dengan jeans pensil dan kaos ketat, seperti ukuran balita yang digunakan remaja. Wajah ibuku pun tetap cantik dan menawan, walau tetap tergurat rasa lelah di dalamnya. Guratan itulah yang membuatku tidak mampu protes pada perubahan ibu. Apalagi karena ibulah aku tetap sekolah dan menjalani hari-hari seperti remaja normal lainnya, walau tanpa ayah.
“Num”
“ya bu”
“Priwe sekolahmu?” (gimana sekolahmu?)
“baik”
“wis nduwe pacar rung?”(udah punya pacar belum?)
Aku tersipu malu.mendengar pertanyaan ibu yang tiba-tiba.
“dereng” (belum)
“temenan? Lah kae sing sering mboncengna kowe sapa?” (beneran? Itu yang sering mengantar kamu siapa?)
“Ranto. Kanca sekolah”(Ranto, teman sekolah)
“kanca apa kanca?” (teman apa teman?)
“temenan kanca” (beneran teman)
“ngesuk kon mampir.aja wedi mampir ngeneh.kenalan karo ibu.” (besok suruh mampir. Jangan takut mampir kemari. Kenalan karo ibu).
Wah, campur aduk rasanya. Ibuku ingin kenal Ranto. Pria yang selama ini membuatku gemetar. Dia baik padaku, pun setia dengan mengantarku pulang sejak 3 bulan ini. Salah satu kesetiaan yang sempat kukenal.
Ranto anak orang kaya. Entah mengapa dia sekolah di SMA Kecamatan. Penampilannya sangat kontras dengan teman-temanku. Kendaraannya motor thunder yang terlihat mewah untuk kalanganku. Handphonenya saja tidak aku tahu cara menggunakannya. Kalau tidak salah, Blackberry merknya. Teman-temanku selalu berlomba menirunya. Namun begitu harga blackberry sama dengan tabungan kita 10 tahun, maka mereka hanya mampu meniru imitasinya. HP cina dengan harga 300-an namun tampilan hampir sama, sudah membuat mereka puas. Murah-meriah namanya.
Selain kaya, Ranto juga setia. Kesetiaannya hampir seperti bulan. Bersamanya kadang malah aku melupakan bulan. Ranto bisa menyanjungku. Membuatku bangga di depan teman-temanku. Siapa yang tidak bangga. Bisa menjadi pacar seorang yang paling kaya di sekolahku. Ranto memang pandai memanjakan ibu. Diapun sopan dan selalu membelikan oleh-oleh ketika berkunjung. Bahkan kadang-kadang dia mengantar aku dan ibuku jalan-jalan dengan Xenia milik keluarganya. Karenanya ibuku sangat setuju aku menjadi pacarnya
Sejak itu Ranto semakin sering berkunjung kerumahku. Sesekali dia juga menginap di rumahku. Kata ibu itu biasa. Lihat tante Heni depan rumah. Teman laki-lakinya juga sering menginap di rumahnya. Berganti-ganti pula. Kadang mereka di depan bercengkrama. Teman laki-lakinya kerap memeluk dan mencium di depan umum. Ranto pun terkadang begitu. Alasannya hanya menggodaku saja. Namun terkadang aku yang merasa tidak nyaman. Ibu yang sering melihat kami berdua juga diam saja. Walau ku tahu dalam tatap matanya ada sebersit kemarahan, namun entah mengapa tidak berucap dari mulutnya.
“Num”
“Nggih bu” (ya bu?)
“Ko wis ngapa bae karo Ranto?” (kamu udah ngapain aja sama Ranto?)
“Maksud-e?” (maksudnya?)
“Wis ambung-ambungan apa? Apa wis turu bareng?”(Udah ciuman? Apa udah tidur bersama?)
Mukamu merah. Walaupun masih SMA aku juga tidak segila itu, dalam hatiku.
“Ya oralah.tasih sekolah ko.” (ya tidaklah. Masih sekolah kok).
“Geh, bocah wadon kuwe, kudu nggolet bojo sing apik. Sing bisa nguripna aweke dhewek karo anakke dhewek mengko. Kowe kan wis gadis. Diseriusi bae karo Ranto. Wong lanang apik akeh sing nggolet. Aja ngasi Ranto lunga, gara-gara kowe. Mengko malah ora payu dadi nyesel kowe” (Anak perempuan itu harus mencari suami yang bagus. Yang bisa menghidupi diri kita dan anak kita nanti. Kamu kan sudah gadis. Diseriusi saja hubunganmu dengan Ranto. Laki-laki yang bagus banyak yang nyari. Jangan sampai Ranto pergi gara-gara kamu. Nanti malah nggak laku jadi menyesal kamu.)
Ibu diam sejenak
“Ngomong bae karo Ranto. Kapan dilamar. Tunangan ndisit ya kena. Mengko nek kowe lulus, Ranto wis lulus nembe nikah. Sing penting kowe njaga awakmu dhewek. Aja ngasi pacaran kebablasan. Kowe ora kepengin anakmu ora nduwe bapak kaya kowe mbok ?” (Bilang saja sama ranto, kapan dilamar. Tunangan dulu juga boleh. Nanti kalau kamu sudah lulus, Ranto sudah lulus, baru nikah. Yang penting kamu jaga diri. Jangan sampai pacaran kebablasan. Kamu tidak ingin anakmu tidak punya ayah seperti kamu kan?)
Aku terdiam. Bingung. Ucapan ibuku ada benarnya. Tapi haruskah demikian? Hari demi hari berlalu. Hingga suatu hari, ketika kita berdua sendirian di rumah, aku beranikan diri untuk bertanya kepadanya.
“Yang, kamu serius nggak sama aku?”
“Ya serius lah. Emang selama ini aku kelihatan bercanda. Udah hampir satu tahun lho hubungan kita”
“Iya. Aku tahu kok” kataku sambil tersenyum.
Memang sudah hampir setahun. Kamipun sudah kelas 3 SMA.
“Ibuku bilang, kapan kamu mau lamar aku”
Ranto agak terkejut mendengar ucapanku. Tapi dia tetap menguasai diri.
“Ya…nanti-lah kalau kita udah lulus.aku udah kerja, kamu juga kalau mau kerja. Kita punya rumah sendiri..baru deh kita nikah. Pasti indah banget kan. Kamu mau kan?”
Aku tersenyum.
“Ya mau lah…”
Kemudian kami berada dalam kebisuan. Sibuk dengan pikiran kami. Sampai Ranto tiba-tiba mengatakan sesuatu padaku.
“Emang kamu mau nikah sama aku?”
“Mau, kalau nggak mau ngapain pacaran sama kamu?”
“Tapi kok kamu nggak pernah buktiin padaku?”
“Buktiin gimana?”
“Kalau sayang, jangan takut dipeluk, jangan takut dicium dong? Kamu jijik ya sama aku?”
“Nggak lah, kok kamu gitu sih”
“Yang, kamu tuh segalanya bagiku. Aku butuh kamu. Kamu tahu sendiri. Kalau sedih aku lari ke kamu. Aku senang, penginnya bareng kamu. Aku pengin milikki kamu seutuhnya. Kamu mau kan? Jangan menjauh dari-ku ya. Aku akan lebih tenang jika bersamamu. Dipeluk kamu.”
Aku agak melambung mendengar kata-kata itu.Aku merasa, aku benar-benar mencintainya, hingga tak sadar aku mengangguk. Dan seterusnya aku diam saja ketika dia melingkarkan tangannya di pundakku. Kata ibu, aku harus menjaganya. Maka jika Ranto bahagia dengan begini, mengapa tidak?
Itu awalnya dan aku terus terbuai. Ranto benar-benar pandai membuatku melayang. Dibuatnya aku berarti dan merasa sangat disayang. Dia semakin memanjakanku, walaupun dia juga meminta lebih dariku. Sampai akhirnya aku lupa pesan ibu untuk menjaga diri. Yang aku ingat, hanyalah aku mencintainya, dan ingin membahagiakannya. Aku ingin menjadi kesetiaan untuknya.
Suatu ketika, aku sadar. Ada yang tidak beres dari tubuhku. Sudah 2 minggu aku terlambat menstruasi. Kacau, pikiranku berkecamuk. 3 bulan lagi aku ujian, dan mengapa justru kekacauan ini muncul sekarang. Segera aku menelepon Ranto. Entah mengapa sudah lebih dari dua minggu dia tidak pernah kerumah. Alasannya sibuk les. Padahal dulu dia sering bolos les demi kerumahku.
“To” Aku sampai lupa memanggilnya `yang` seperti biasa.
“Ya” katanya di seberang telepon.
“Aku hamil 2 bulan”
“Apaaa???kamu yakin? Udah cek ke dokter belum?”
“Belum. Tapi bulan ini telat mens-nya. Biasanya nggak gitu”
Dia diam. Lama, dan aku mulai cemas.
“Gini aja deh. Coba kamu pastiin ke dokter. Terus nanti biar aku cari jalan keluar. kamu bisa sabar kan? Jangan sampai orang lain tahu” dia berujar.
“Ya” aku menjawab lirih.
Setelah itu aku periksakan diri ke bidan.dan ternyata aku hamil sudah satu bulan. segera aku sms dia. Namun tidak juga dibalas. Dua minggu berlalu. Dan rahasia ini hanya aku dan dia yang tahu. Kucoba tetap setia menunggu. Walaupun rasanya tidak karuan menahan semua ini sendiri. Sering aku sms ke dia. Namun tidak pernah sekalipun dibalasnya. Disekolah pun dia hanya diam. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Hingga suatu ketika,
“Halo..benar ini Hanum” suara seorang wanita meneleponku
“Iya”
“Ini ibunya Ranto” hatiku bergolak. Mengapa tiba-tiba wanita yang kuhormati ini meneleponku. Masalah itu kah?
“Iya bu.”
“Benar kamu hamil?” Jantungku berdetak kencang. Apakah ini pertanda baik?
“Iya bu. Sudah 6 minggu”
“Anak Ranto?” Aku berdesir..darahku yang mengalir terasa membeku.
“Tentu saja. Saya hanya berhubungan dengan Ranto”
“Bukan anaknya siapa itu, temanmu yang memberi tahu ibu? Sofyan? Perhatian betul dia sama kamu? Kamu yakin itu anak Ranto”
Rasanya aku ingin menangis. Bagaimana mungkin mereka meragukan anak dalam kandunganku ini. Aku tidak mengerti mengapa Sofyan menelepon ibunya Ranto. Oh, aku tahu. Sofyan anaknya bidan Arum. Tentu dia diberitahu ibunya. Dia juga sahabat Ranto, tapi aku tidak pernah menyuruhnya memberitahu ibunya.
“Saya tidak tahu bu. Ranto meminta saya diam. Dan saya tetap diam selama ini”
“Gini ya. Ranto masih muda. Dia masih harus kuliah dan kerja. Dan itu adalah aib bagi keluarga kami. Sudah gugurkan saja kandunganmu. Nanti saya yang biaya-in.”
Suara itu bagai petir untukku. Bagaimana mungkin seorang ibu tega menyuruhku menggugurkan kandungan.
Setelah itu dia mematikan teleponnya. Membiarku dalam penyesalan dan kebingungan tak berujung. Apa yang harus kukatakan pada ibuku, pada keluargaku, pada dunia? Ya Tuhan. Akhirnya aku menyebutMu. Ketika dunia sudah runtuh dihadapanku.
Setelah itu aku berterus terang kepada ibuku. Dan seperti kuduga, ibu mengajakku ke rumah Ranto. Namun ternyata disana lebih menyakitkan. Mereka menghina ibuku. Menghina asal-usulku. Dan mengusir kami begitu saja.
Ranto pun hanya terdiam. Dia tidak pernah lagi bicara apa-apa padaku. Dia hanya mengirimkan sms singkat.
“Maafkan aku. Aku tidak bisa melawan perintah ibuku. Aku takut”.
Dan aku tahu, dunia benar-benar runtuh dihadapanku. Meski demikian, aku tidak ingin menyerah. Aku tidak ingin mengugurkan kandunganku.
Tapi aku juga tidak ingin takdir ini menjadi kesetiaan untuk keluargaku. Berulang dan berulang terus di setiap generasi. Harus ada perubahan. Harus ada yang merubah nasib.
Akhirnya aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Aku berjalan menumpang angkot kemanapun berjalan. Entah kemana tujuanku. Hingga suatu ketika ada seorang ibu memandangku iba. Diajaknya aku turun dan dibawanya aku ke daerah Cilongok. Ternyata dia adalah seorang Nyai di suatu pesantren. Aku sungguh beruntung bisa bertemu dengan beliau. Dibimbingnya aku di sana. Walaupun aku harus bekerja sebagai pembantu di rumahnya, setidaknya batin ku terasa tenang. Aku semakin mantap untuk tetap merawat kandunganku. Biarpun nanti aku mendapatkan beban mental, untuk menjelaskan padanya, bahwa dia tidak memiliki bapak. Syukurlah,bu Nyai mendukung keputusanku. Beliau menyetujuinya dan memperbolehkan aku merawat anakku sambil bekerja di rumahnya.
Di lingkungan pesantren. Akupun sembari terus belajar. Mengejar ketertinggalanku mendekat pada Allah. Yang Maha Setia pada hamba-Nya, dan mengirimkan bulan untuk setia mengawasiku. Namun justru aku tinggalkan, ketika aku merasakan kesetiaan semu.
Kini aku berusaha keras untuk merawat anakku seorang diri. Menjadi suatu kesetiaan untukknya. Agar aku tidak memberi anakku takdir yang sama denganku.
“Bu, ayah bulan mana?”
“Bulan kan tidak punya ayah. Bulan cuma punya ibu”
“Bulan tidak punya ayah?” aku mengangguk, dan dia terdiam.
Aku pun menunggunya, menyiapkan diri pada reaksi apapun yang dia munculkan. Sampai akhirnya dia berceloteh.
“Nggak papa deh. Bulan sayang ibu kok” kemudian dia memelukku.
Aku terharu. Ya, nak. Ibu pun sayang padamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed Template By Blogger Templates - Powered by Sagusablog