Breaking News

Rabu, 18 April 2012

Copas : Memahami Introvert

Penulis asli: Jonathan Rauch (link)
diterjemahkan: Hery Mardian (link)


PERNAH kenal seseorang yang selalu butuh waktu menyendiri, beberapa jam setiap harinya? Yang menyukai obrolan-obrolan tenang seputar perasaan atau gagasan? Yang bisa begitu dahsyat ketika memberikan presentasi di hadapan banyak orang namun tampak canggung ketika ngobrol-ngobrol kecil dalam kelompok, atau skill basa-basinya agak lemah dan ecek-ecek? Yang harus diseret-seret untuk datang ke pesta, lalu perlu menghabiskan waktu sisanya untuk pemulihan diri? Yang justru mengeluh, mengrenyitkan alis, menghela nafas atau meringis; jika disapa dengan cara diledek atau digoda oleh orang yang sebenarnya bermaksud beramah-tamah?

Kalau iya, apa menurut anda orang ini “terlalu serius”? Atau perlu ditanya, “kamu baik-baik aja?” Atau mungkin dia memang sengaja menjaga jarak, angkuh, tak sopan atau tidak bisa membawa diri? Bahkan diperlukan usaha dua kali lebih keras lagi untuk membuatnya mau menjelaskan ada apa sebenarnya.

Kalau jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas adalah “ya”, maka hampir pasti anda sudah bertemu dengan seorang introvert—dan hampir pasti pula bahwa anda tidak memperlakukan dia sebagaimana seharusnya.

Di tahun-tahun belakangan ini, sains sudah mempelajari banyak hal tentang perilaku maupun kebutuhan para introvert. Bahkan sudah diketahui pula—melalui pemindaian otak—bahwa otak orang-orang introvert mengolah informasi dengan cara yang berbeda dengan orang lain (saya tidak sedang mengada-ada!).

Kalau anda ternyata belum tahu fakta ini, anda memang tidak sendirian. Keberadaan orang-orang introvert mungkin sangat umum, tapi di Amerika, termasuk di dunia, mereka adalah golongan yang paling banyak disalahpahami dan dibuat merasa tertekan .

Saya sungguh-sungguh tahu itu. Nama saya Jonathan, dan saya seorang introvert.

Sebelumnya, bertahun-tahun lamanya saya mengingkari ini. Lagipula saya adalah orang yang memiliki kemampuan sosial yang baik. Saya sama sekali bukan orang yang pemurung atau tidak suka orang lain. Umumnya, saya jauh dari pemalu. Saya sangat menyukai obrolan-obrolan panjang tentang pemikiran-pemikiran mendalam, atau tentang hal-hal menarik yang dikerjakan dengan sepenuh hati. Namun akhirnya saya mengenali hal itu pada diri saya, dan tetap tampil dengan membuka diri sebagai seorang introvert pada teman-teman maupun rekan kerja. Dengan cara ini saya terbebas dari banyak sekali kesalahpahaman atau labelisasi yang menyakitkan.

Kini, saya ingin menjelaskan apa yang harus anda ketahui sehingga anda bisa memberikan respon yang tepat sekaligus mendukung pada keluarga, teman maupun rekan kerja anda yang introvert. Perhatikan: pasti ada dari mereka yang anda kenal, anda hormati, atau yang dengannya anda berinteraksi setiap hari, adalah seorang introvert; sementara bisa jadi anda malah “menyiksanya” bila tak paham rambu-rambunya.


Apa itu introversi?
Dalam tampilan modernnya, konsep ini diperkenalkan tahun 1920-an oleh Carl Jung, psikolog yang terkenal itu. Hari ini introversi adalah salah satu tiang utama dalam banyak tes identifikasi kepribadian, termasuk tes Myers-Briggs Type Indicator yang sangat banyak digunakan itu.

Para introvert tidak mesti pemalu. Orang pemalu merasa cemas, takut, atau mengutuki dirinya sendiri dalam lingkungan sosial; sedangkan para introvert biasanya tidak demikian. Para introvert juga bukan orang yang misantropik atau pembenci umat manusia, walaupun ada beberapa dari kami yang sepakat dengan kata-kata Sartre, “Neraka adalah adanya orang lain ketika sarapan.” Namun akan lebih tepat jika dikatakan bahwa (berinteraksi dengan) orang lain itu melelahkan bagi para introvert.
Para ekstrovert menjadi “hidup” dengan kehadiran orang lain, dan akan layu serta kehilangan kecemerlangan mereka jika sendirian. Ekstrovert kerap tampak seperti bosan dengan dirinya sendiri. Tinggalkan seorang ekstrovert sendirian selama dua menit, maka ia akan segera meraih ponselnya. Sebaliknya, setelah satu atau dua jam bersosialisasi, kami para introvert membutuhkan saat-saat off sejenak untuk mengisi ulang batere kami. Saya sendiri, rumus kebutuhan saya adalah dua jam off untuk setiap satu jam bersosialisasi.

Ini sama sekali bukan anti-sosial. Ini juga bukan tanda depresi, dan tidak membutuhan tindakan medis apa pun. Bagi para introvert, dibiarkan sendiri menyelami pikirannya itu sama menyegarkannya dengan tidur, dan sama bergizinya seperti makan. Motto kami, “Saya senang, kamu senang, sama-sama senang—sedikit tapi sering.”

Berapa banyak orang introvert?
Saya melakukan riset mendalam untuk menjawab pertanyaan ini, di Google. Jawabannya: sekitar 25 persen dari seluruh populasi. Atau kurang dari setengah. Atau, —favorit saya—“Kelompok minoritas di kalangan umum, tapi mayoritas di kalangan manusia berbakat”.

 

 Apakah para introvert kerap disalahpahami?
Sangat, di mana-mana. Seakan-akan itu memang sudah jadi porsi kami. “Sangat sulit bagi seorang ekstrovert untuk memahami introvert,” tulis pakar pendidikan Jill D. Burruss dan Lisa Kaenzig (mereka jugalah yang menjadi sumber kutipan kalimat favorit di akhir paragraf sebelumnya). Namun para introvert mampu memahami ekstrovert dengan sangat mudah, karena para ekstrovert menggunakan begitu banyak waktu mereka untuk berusaha keras menunjukkan siapa dirinya—dengan pembicaraan yang begitu banyak dan kadang tak bisa dihindari—ketika berinteraksi dengan orang lain. Mereka begitu terbukanya, seperti seekor anak anjing yang sedang lucu-lucunya.

Namun sayangnya jalan ini hanya jalan satu arah. Para ekstrovert hanya memiliki pemahaman yang sedikit, atau bahkan sama sekali tidak memahami, persoalan introversi. Mereka berasumsi bahwa kebersamaan, khususnya jika bersama mereka (yang ekstrovert), adalah hal yang selalu lebih menyenangkan bagi semua orang. Mereka tidak mampu membayangkan bagaimana mungkin ada manusia yang butuh untuk sendirian; bahkan kerap justru merasa tersinggung kepada mereka yang mengemukakan kebutuhan menyendirinya ini. Sesering saya berusaha menjelaskan hal ini kepada para ekstrovert, saya belum pernah benar-benar merasa yakin bahwa mereka sungguh-sungguh memahami. Biasanya mereka cuma mendengarkan sesaat, lalu kembali menggonggong dan mendengking lucu.

Apa para introvert tersisih?
Apa boleh buat, saya harus mengatakan “ya”. Lihat satu hal, bahwa para ekstrovert sudah terlalu banyak terwakili dalam dunia politik, profesi yang sangat menyenangkan hanya bagi mereka yang gemar bicara kesana kemari. Lihat George W. Bush. Lihat Bill Clinton. Mereka seperti sangat penuh daya hidup ketika keberadaannya disekitar orang lain. Jika mengingat kembali beberapa introvert yang berhasil menyentuh puncak di dunia politik—Calvin Coolidge, Richard Nixon—justru menegaskan hal tersebut. Pengecualian, mungkin Ronald Reagan, yang terkenal menjaga jarak emosional maupun kehidupan pribadinya, bisa jadi merupakan tanda adanya garis introvert yang dalam (saya pernah baca, banyak sekali aktor adalah introvert; dan banyak introvert, ketika bersosialisasi, merasa seperti sedang akting), para introvert tidak dipandang “berbakat alami” dalam dunia politik.

Maka, ekstrovert lebih mendominasi dunia publik. Ini sebenarnya patut disayangkan. Jika para introvert yang menjalankan kepemimpinan di dunia, agaknya dunia akan menjadi tempat yang lebih tenang, lebih waras dan lebih damai. Konon Coolidge pernah bilang, “Tahukah anda, bahwa empat dari lima persoalan hidup akan hilang jika kita bisa duduk diam dan tenang?” (Ia juga konon pernah bilang, “Kalau seseorang diam, maka ia tidak akan diminta untuk mengulangi.” Satu hal yang paling tidak disukai introvert selain berbicara tentang dirinya, adalah mengulangi apa yang diucapkannya).

Karena kebutuhan akan bicara dan perhatian yang tak habis-habisnya, para ekstrovert lebih dominan dalam kehidupan sosial sehingga standar-standar pun ditetapkan secara ekstrovert. Dalam masyarakat ekstrovertis kita ini, orang yang terbukalah yang dianggap normal, sehingga orang semua orang ingin menjadi terbuka. Sifat “terbuka” menjadi ciri kebahagiaan, percaya diri, atau kemampuan memimpin. Orang yang ekstrovert kerap disebut dengan kata-kata “besar hati”, “menularkan kebahagiaan”, “hangat”, “empatik”. “Sosok yang disukai semua” menjadi sebuah pujian. Introvert, sebaliknya, umumnya dideskripsikan dengan kata-kata seperti “terlalu berhati-hati”, “penyendiri”, “lambat”, “tak suka bicara”, “tak butuh orang lain”, “pilih-pilih teman”—kata-kata yang sempit, tak ramah, kata-kata yang bermakna miskin secara emosional, atau kepribadian yang kerdil.

Para perempuan introvert, menurut saya, adalah yang paling menderita. Dalam lingkungan tertentu, khususnya di dunia barat, seorang pria bisa tidak terlalu bermasalah dengan julukan-julukan yang menggambarkan sifat-sifat yang “kukuh tapi diam”. Namun perempuan introvert, karena tidak memiliki alternatif itu, akan lebih cenderung dianggap sebagai tidak percaya diri, menarik diri, atau angkuh.

Apakah para introvert sombong atau arogan?
Sangat jarang. Agaknya kesalahpahaman umum ini disebabkan oleh para introvert yang cenderung lebih cerdas, lebih perenung, lebih independen, lebih berkepala dingin, lebih halus dan lebih sensitif dibandingkan ekstrovert. Juga, karena kurangnya kemampuan introvert dalam berbasa-basi, kekurangan yang kerap menjadi bahan celaan oleh para ekstrovert. Introvert cenderung berfikir sebelum berbicara, sementara ekstrovert cenderung berfikir dengan bicara. Ini menjadi sebab kenapa rapat orang ekstrovert tidak akan bisa memakan waktu kurang dari enam jam.

“Para introvert”, tulis seorang pintar bernama Thomas P. Crouser dalam sebuah resensi onine dari buku berjudul “Why Should Extroverts Make All the Money?” (judul itu juga tidak saya buat-buat), “seringkali dikacaukan konsentrasinya dan dibuat bingung oleh dialog-dialog ‘setengah internal’ yang biasanya ditampilkan para  ekstrovert. Sementara para introvert tidak akan mengeluhkan hal ini secara terbuka, mereka hanya akan mengalihkan pandangan mata dan ‘diam-diam mengutuki kegelapan’.” Begitulah memang.

Yang terburuk adalah, ekstrovert benar-benar tak menyadari tekanan yang mereka timpakan kepada para introvert. Kadang, sambil megap-megap mencari nafas di dalam tebalnya asap pembicaraan ekstrovert yang 98-persen-bebas-kandungan-makna itu, seorang introvert bisa bertanya-tanya apakah para ekstrovert benar-benar pernah mencoba untuk mendengarkan dirinya sendiri berbicara. Namun demikian, introvert dengan teguh kukuh berlapis baja tetap berupaya menahan dan menanggung derita ini, karena buku-buku etiket—tak ragu lagi, pasti ditulis oleh ekstrovert—menulis bahwa tidak balik membalas candaan itu tidak sopan, dan membiarkan adanya jeda diam di tengah pembicaraan adalah hal yang menimbulkan kecanggungan.

Kami hanya bisa berharap bahwa kelak, ketika keadaan kami ini sudah bisa dipahami secara lebih luas, ketika gerakan “tegakkan hak asasi kaum introvert”ternyata sudah berkembang dan berbuah, bukan lagi dianggap sebagai suatu hal yang tidak sopan jika seseorang mengatakan, “Saya introvert. Anda orang yang menyenangkan, dan saya senang bersama anda. Tapi sekarang, tolong diam, ssssshhht.”


Bagaimana cara menunjukkan pada para introvert di kehidupan saya, bahwa saya mendukung dan menghargai pilihannya?

Pertama, mohon dipahami bahwa itu bukan pilihan. Itu bukan sebuah gaya hidup yang dipilih. Itu adalah orientasi kepribadian.

Kedua, ketika melihat seorang introvert sedang diam dan menyelami pikirannya sendiri, tidak perlu bertanya, “Ada apa?” atau “Kamu baik-baik saja?”

Ketiga, tidak perlu berkata apa-apa juga, sih.

1 komentar:

Designed Template By Blogger Templates - Powered by Sagusablog