Mungkin, terutama di kota besar, jarak sedemikian bukanlah
jarak yang jauh. Atau mungkin waktu tempuh 1 hingga 2 jam, juga waktu yang
biasa jika ditambah macet. Tetapi kami menempuh semua itu dengan kendaraan
motor, melewati bukit dan hutan pinus. Lengkap dengan jurang dan longsor yang
sewaktu-waktu mengancam dikala hujan. Ditambah dengan jalan sempit dan rusak,
dan truk serta motor yang sepertinya lupa, bahwa mereka tidak sendirian
dijalan. Makan tidak heran kecelakan kerap menimpa kami secara bergantian.
Dan berhubung sekolah kami baru didirikan tahun 2009, maka
kami yang PNS harus menerima gaji di dinas. Dan kami cukup diuji kesabarannya,
dengan tidak mendapat gaji di awal tahun kami mengajar. Tidak tanggung-tanggung,
gaji kami tidak turun selama 3 bulan. Dengan alas an, berkas belum diurus
kepusat, meski kami telah menyerahkan ke dinas tepat waktu. Sementara rekan-rekan
kami yang ditempatkan di kota, cukup beruntung dengan menikmati gajinya tepat
waktu. Meski demikian, kami yang PNS tetap lebih beruntung, dibanding para wiyata
bakti yang digaji antara 150 – 400 ribu per bulan. Untuk beli bensin saja,
terkadang kurang. Dan sedihnya, gaji itupun tidak akan naik, meski BBM naik.
Sekolah kami adalah sekolah negeri, yang diharapkan mampu
meminimalisir angka putus sekolah. Siswa-siswi kami juga terpencil. Tinggal di
lokasi, yang bahkan sinyal handphone hanya bisa dari satu provider. Itupun hanya
2 bar. Saluran televisi tidak bisa dinikmati kecuali dengan parabola. Internet?
Lupakan saja. Soal karakter pun luar biasa. Mereka sangat kompak, dalam hal
semau sendiri. mengumpat guru pun tidak sungkan mereka lakukan. Bahkan salah
seorang teman guru pernah dikatakan ‘Anjing’ gara-gara menyita HP siswa
tersebut. Soal input pun sangat memprihatinkan. Siswa yang mendaftar di sekolah
kami, belum bisa menghitung 0,5 ditambah ½ . padahal kami adalah sekolah menengah
atas. Bahkan mereka belum tahu yang mana bahasa inggrisnya rumah. House atau
home? Dan mereka juga siswa yang bisa berdiri tegak, menunjukkan jari kepada
guru, dan menyuruh guru untuk keluar ruangan, karena mereka tidak mau diajar. Siswa
yang rata-rata pemuda dan pemudi ini, sungguh karakter yang sulit untuk diberi
pengetahuan.
Fasilitas? Kami hanya bisa getir. Sekolah kami hanya
memiliki bangunan untuk kantor, produktif dan kelas. Itupun sering bocor. Jalan
tengah sekolah kami becek. Bahkan jika musim hujan, kami harus memakai sandal jepit
agar tidak terpeleset. Jika kemarau, kami tidak memiliki air untuk kekamar
mandi. WC guru saja tidak ada air, apalagi WC siswa. Namun siswa kerap sering
memakainya jika tidak tertahankan lagi. Maka terbayang
sudah, betapa bau dan kotornya. Kami tidak memiliki perpustakaan. Kami hanya
memiliki 1 rak buku yang diisi kurang
lebih 300 buku dengan 90 judul buku saja. Ruang computer, masih cukup
beruntung. Kami memiliki ruang computer dengan 15 komputer. Kami pun mendapat
bantuan 15 laptop dan 6 LCD. Sayang, entah karena computer kami sumbangan
pemerintahi , atau karena siswa kami belum terampil memakainya, computer kami
sering sekali rusak. Laptop bantuan pun ada
yang datang dalam kondisi mati total. Mouse internal terbalik, wifi tidak
menyala, dan ada baut yang terlepas disana-sini.
Tapi apakah kami menyerah? Tidak. Kami adalah guru. Dan bagi
kami, guru adalah pekerjaan yang diamanahkan Tuhan untuk kami. Kami percaya,
bahwa Tuhan tidak akan menyia-nyiakan kami. Setidaknya, Tuhan sudah memanjakan
kami dengan pemandangan yang indah. Sawah yang luas terhampar, dipeluk oleh
perbukitan. Alam yang masih alami, walaupun sudah terasa debunya. Bahkan ustad
Ali Mu`in yang pernah memberikan tausiah di tempat kami mengatakan, bahwa ini
jalan surga, tapi jika kita ikhlas menjalaninya. Karena nya kami ikhlaskan
saja. Toh, tidak ikhlas juga percuma.
Kami sadar, bahwa tidak semua sekolah di Indonesia khususnya
pula Jawa, memiliki fasilitas yang melimpah, dan siswa yang cerdas. Ada sekolah
yang berfasilitas minim dengan siswa bekemampuan terbatas. Tetapi mereka dituntut untuk tetap bersaing dengan mereka yang beruntung. Untuk itulah kami disini. Membekali mereka agar siap menghadapi masa depan. Mereka bukan kaum pedalaman, mereka bukan suku terisolir. Mereka adalah minoritas. Dan disinilah kami ada, sekolah terpencil di pulau jawa. Kami tetap bersyukur, setidaknya setiap hari kami mendapatkan banyak cerita dan pengalaman. Inilah kisah kami, bersama backpacker kesayangan kami.
kunjungan pagi ...assiiikkk postingannya sangat bermanfaat..
BalasHapussemoga semakin sukses ...
sesekali senggang ikutan backpacker juga ah ke smkn karanggayam dan sekitarnya ...saloam kompak selalu untuk keluargaq besar smkn krgayam :)
BalasHapus